Oleh JOKO PRIYONO
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Mulai Latihan Paskibraka untuk HUT RI ke-79 Tahun 2024
ILMU pengetahuan harus diakui terus memiliki watak paradoks.
Di satu sisi ia ternarasikan sebagai lambang akan kemajuan, tetapi di sisi lain, ia memiliki sifat merusak dalam struktur kehidupan manusia.
Baca Juga:
Tokoh Papua Ali Kabiay Mengajak Warga Hindari Provokasi dan Jaga Perdamaian
Kondisi itu tak terlepas akan bagaimana ilmu itu digunakan.
Kalau didasarkan pada kebermanfaatan dan kebaikan, ilmu akan terus bermartabat bagi umat manusia.
Walakin, jika didasarkan pada keserakahan dan kecerobohan, ia menjadi sebuah benalu.
Tak ubahnya monster mematikan bagi kehidupan.
Pada kasus lain, tantangan dalam ilmu muncul saat berbagai kepentingan masuk dalam struktur ilmu itu sendiri.
Kepentingan politik dan ideologi tertentu tak dapat dipisahkan di sana.
Menjadi berbahaya saat ilmu pengetahuan berada di bawah kuasa politik, ia dapat mengandaikan tafsir pengetahuan sesuai dengan kepentingannya.
Dengan demikian, tak ada lagi kepercayaan pada otoritas keilmuan dan pendasaran pada asas kebebasan ilmu.
Memang, ilmu dalam kenyataannya tak bisa netral.
Ia dalam perkembangannya mesti akan menunjukkan kecenderungan atau dalam hal ini merujuk pada keberpihakan.
Keberpihakan ini tak lain merupakan sebuah syarat atas hadirnya aspek ilmu pengetahuan yang berupa etika dan aksiologi (kegunaan).
Kedua hal itu perlu terus dikonstruk dalam membaca perkembangan dan perubahan dalam otonomi dan otoritas keilmuan di Indonesia.
Meliputi dunia akademis, lembaga penelitian, hingga kelompok cendekiawan.
Kita harus menyadari bahwa kuasa politik dalam perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah kentara terjadi.
Tafsir demi tafsir akan bagaimana ilmuwan, cendekiawan, intelektual, hingga akademisi dikondisikan kepentingan tertentu dengan berbagai dalih.
Utamanya adalah kontekstualisasi dengan Pancasila.
Pertanyaannya: apakah ada landasan ilmu pengetahuan terkontekstualisasikan dengan ideologi negara, seperti halnya dalam Pancasila?
Mungkin ada, tetapi kenyataan yang terjadi adalah muncul kecenderungan pemaksaan.
Kenyataan itu pernah diungkapkan juga oleh Bung Karno saat menyampaikan pidato berjudul Ilmu dan Amal dalam penganugerahan gelar Honoris Causa pada bidang Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1951.
Bung Karno menyampaikan bahwa memang Pancasila menjadi sebuah jati diri dan kepribadian bangsa.
Namun, ia juga mempertanyakan keberadaan Pancasila berbagai pertanyaan muncul saat kenyataan banyak rakyat masih miskin dan belum sejahtera.
Ia menyatakannya di sebuah kalimat:
”... dalam hal Pancasila ini orang harus berpikir dalam istilah geest-wil-daad! Bangsa Indonesia harus berjuang terus, berjuang dalam arti yang luas, berjuang terutama dalam arti membangun --membangun materiil dan membangun moril-- agar supaya toon hidupnya yang bernama Pancasila itu benar-benar menjelma wadhag di atas segala lapangan hidupnya. Sebab, sebagaimana tiap-tiap individu dilingkungi oleh keadaaan-keadaan yang memengaruhi dan menentukan hidupnya.”
Ilmu Pengetahuan dan Pancasila
Bung Karno dengan tegas tentu memiliki visi akan hadirnya Pancasila menjadi sebuah laku dalam kehidupan tiap individu, tanpa terkecuali.
Tidak merujuk Pancasila sebagai bahasa politik penuh slogan belaka.
Pancasila perlu dimaknai sebagai hal terus berjalan dan perlu ditafsirkan dalam perkembangan dan perubahan zaman.
Namun, andaikan Pancasila dianggap sebagai konstruk mendasar dengan tak ada keterlibatan tafsir, itu yang bermasalah.
Pengertian mendasarkan hubungan antara ilmu dengan ideologi.
Pada dasarnya keduanya memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaan dan perbedaan antara ideologi dan ilmu itu dapat menimbulkan pertentangan antara keduanya.
Walaupun keduanya sama-sama memiliki asumsi dasar dan landasan aksiologi, tetapi asumsi dasar dan nilai-nilai yang hendak dicapainya itu sering tidak sama.
Perbedaan cara-cara pengembangan dan penyebarluasannya dapat pula menimbulkan pertentangan antara keduanya.
Keterbukaan ilmu terhadap kritik refutatif jelas bertentangan dengan ketabuan kritik terhadap ideologi selama ideologi itu dirangkul oleh penguasa (Liek Wilardjo, 1990:138).
Tafsir muncul dari politik kuasa dalam kontekstualisasi antara ilmu pengetahuan dan ideologi menjadi tantangan hari ini.
Ideologi negara memiliki relasi dengan penguasa.
Penguasa dengan wewenangnya mudah melegitimasi atas kerja-kerja ilmu pengetahuan.
Justru terjadi: ketika ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan selera kuasa, ia berhak dinilia tak sesuai dengan aspek-aspek Pancasila.
Di sinilah paradoks muncul.
Alih-alih didasarkan pada ideologi, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak, khas sebagaimana pada otoritarianisme.
Ilmu dan Kekuasaan
Konsep ilmu dan kekuasaan terdasar pada sebuah teori dikemukakan oleh Francis Bacon, knowledge is power.
Bacon tak mengidealkan bagaimana otoritarianisme terjadi.
Kuasa ilmu yang dimaksudkan tentu saja adalah daur di dalamnya berupa tata aturan atau disebut metode ilmiah.
Bahwasannya, ilmu senantiasa menjadi sebuah proses penyangsian terhadap sesuatu hal dengan didasari pada berpikir kritis, bersikap ilmiah, dan bertindak masuk akal.
Teori muncul dan kemudian menjadi kesepakatan komunal sebagai konsep keberadaan paradigma.
Ilmu memperlihatkan bahwa kebenaran dihasilkannya tak mutlak, melainkan itu bersifat sementara.
Ilmu pengetahuan juga tidak menjadikan perdebatan di kalangan para ilmuwan sampai harus membawa ke meja hijau saat ada sanggahan demi sanggahan.
Dengan demikian, ilmu mempersyaratkan adanya sikap keterbukaan baik di kalangan masyarakat ilmiah sendiri maupun publik.
Jujun S Suriasumantri (1986) menyebut, kekuatan dunia keilmuan bukanlah kekuatan politik melainkan kekuatan moral yang menyuluhi proses pengambilan keputusan politis dengan analisis-analisis keilmuannya.
Penekanan keberadaan ilmu pengetahuan dengan didasarkan ideologi tentu saja berpotensi melahirkan masalah.
Kecenderungan muncul adalah campur tangan dari para penguasa hingga politisi dengan dalih kontrol kekuasaan, ketertiban, dan kestabilan, tetapi belum menjamin punya otoritas keilmuan.
Alih-alih memiliki visi pada kemajuan ilmu pengetahuan, justru yang terjadi adalah pembelengguan terhadap masyarakat ilmiah.
Ia tak ubahnya menjadi lembaga sensor yang bertugas untuk menentukan mana yang sesuai dan tidak. (Joko Priyono, Fisikawan Partikelir; Anggota Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Riset PB PMII 2021-2024)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Ilmu, Ideologi, dan Politik Kekuasaan”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/02/ilmu-ideologi-dan-politik-kekuasaan.