WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah kemajuan teknologi dan kemudahan hidup masa kini, muncul fenomena yang mengkhawatirkan, semakin banyak remaja Indonesia yang kehilangan kegigihan dan arah untuk mempersiapkan masa depannya. Sebagian tidak melanjutkan sekolah, sebagian lain hanya “sekolah asal jalan”, tanpa semangat belajar yang sungguh-sungguh.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar : ke mana hilangnya daya juang generasi muda kita? Dan mengapa di negara lain seperti Oslo, Norwegia, para remajanya justru tumbuh menjadi sosok yang serius belajar, bahagia bermain, tetapi tetap disiplin dan fokus terhadap masa depan?
Baca Juga:
Konsulat India Temui Wali Kota Gunungsitoli, Jajaki Peluang Kerja Sama Sektor Pendidikan-Pertanian
Fenomena “Era Mudah” dan Lunturya Daya Juang
Kita hidup di zaman di mana hampir semua hal bisa diakses dengan cepat makanan datang lewat aplikasi, informasi lewat ponsel, hiburan tanpa batas.
Kemudahan ini, tanpa disadari, menciptakan budaya instan yang perlahan mengikis ketekunan.
Remaja terbiasa mendapatkan hasil tanpa proses panjang.
Belajar terasa membosankan karena tak segera menghasilkan kepuasan seperti media sosial atau permainan daring.
Nilai kerja keras bergeser menjadi nilai praktis: yang penting cepat, viral, dan terkenal.
Baca Juga:
Bahasa Inggris Jadi Pelajaran Wajib di SD Didukung Pakar UGM, Tapi Kasih Catatan Ini
Padahal, kemudahan tanpa makna hanya menumbuhkan kebosanan, bukan kemajuan.
Belajar dari Oslo : Gigih Tapi Bahagia
Ketika berkunjung ke Oslo, Norwegia, kita bisa melihat bagaimana remaja di sana hidup dengan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.
Mereka belajar dengan sungguh-sungguh, bermain dengan riang, namun jarang terlihat menghabiskan waktu tanpa arah di luar rumah. Apa rahasianya?
Sistem Pendidikan yang Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu
Anak-anak di Norwegia sejak kecil diajarkan belajar untuk hidup, bukan belajar untuk ujian.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan penguasa kelas. Mereka belajar melalui pengalaman nyata dari alam, proyek sosial, hingga kegiatan komunitas. Belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bermakna.
Pola Asuh yang Demokratis
Orang tua di Norwegia melatih anak mandiri sejak dini.
Mereka memberi pilihan, bukan tekanan. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan rasa tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Disiplin bukan karena takut dimarahi, tapi karena sadar bahwa tanggung jawab adalah bagian dari kehidupan.
Lingkungan yang Aman dan Mendukung
Setiap komunitas punya ruang publik untuk remaja pusat aktivitas, taman belajar, dan klub seni. Anak-anak punya tempat menyalurkan energi dan kreativitas. Mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat yang peduli.
Mengapa Remaja Indonesia Belum Seperti Itu?
Kita tidak kekurangan anak cerdas, tetapi sering kali mereka tumbuh di ekosistem yang kurang memberi contoh keteladanan dan ruang eksplorasi.
Beberapa hal yang masih menjadi penghambat :
• Pendidikan terlalu akademis.
Fokus pada nilai dan ujian, bukan karakter dan kreativitas.
• Pola asuh terlalu mengontrol.
Anak diarahkan, tapi jarang dilibatkan dalam keputusan.
• Kurangnya ruang positif di luar sekolah.
Banyak remaja tumbuh di lingkungan sosial yang tidak mendukung pembentukan karakter.
• Minim teladan gigih dari figur publik.
Ketika yang diidolakan bukan orang yang bekerja keras, anak kehilangan panutan nyata.
*Membangun Kembali Semangat Gigih Remaja Indonesia*
Kita bisa belajar dari Oslo bukan untuk meniru, tetapi untuk menyesuaikan nilai-nilainya dengan konteks Indonesia.
Ada empat langkah penting yang dapat dilakukan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu
Anak tidak boleh hanya dijejali pelajaran, tapi perlu diberi kesempatan menemukan minat dan rasa ingin tahunya sendiri.
Kegiatan berbasis proyek, diskusi, atau karya nyata akan membuat mereka belajar dengan hati, bukan sekadar kepala.
Membangun Komunikasi Terbuka
Remaja butuh didengar.
Ajak bicara tentang cita-cita, kegelisahan, bahkan tentang hal-hal sederhana. Ketika mereka merasa dihargai, semangat belajarnya tumbuh dengan alami.
Ubah Makna Pendidikan
Sekolah dan rumah harus menjadi ekosistem belajar kehidupan, bukan hanya tempat menilai kecerdasan. Ajarkan disiplin, kerja sama, empati, dan tanggung jawab karena itulah fondasi masa depan.
Ciptakan Komunitas Inspiratif
Gerakan kecil bisa dimulai dari desa atau kota. Ruang Inspirasi Remaja, Ngopi dan Belajar Bareng. Tempat di mana remaja bisa belajar keterampilan hidup, berdiskusi, dan membangun mimpi bersama.
Penutup
Kita tidak kekurangan harapan, hanya perlu menyalakan kembali api kegigihan di dada generasi muda kita. Belajar dari Oslo, kita tahu bahwa rahasia kemajuan bukanlah pada kecanggihan teknologi, tetapi pada kualitas karakter manusia.
Jika setiap keluarga, sekolah, dan komunitas mulai membangun budaya gigih bukan dengan paksaan, tapi dengan keteladanan dan dukungan maka suatu saat kita akan melihat remaja Indonesia belajar dengan sungguh-sungguh, bermain dengan bahagia, dan tumbuh menjadi generasi yang mandiri dan berdaya.
[Redaktur: Robert]