WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sepertinya saya perlu menulis artikel ini dengan judul di atas untuk memberikan pemahaman yang rasional kepada pihak-pihak tertentu yang mungkin kurang memahami proses Pilkada Jakarta serta dinamika pergantian Gubernur baru. Kepemimpinan Pramono Anung di Provinsi DKI Jakarta resmi dimulai setelah ia dilantik pada 20 Februari 2025. 							
						
							
							
								Pada saat itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 sebenarnya telah lebih dahulu dirancang dan disahkan oleh mantan Penjabat (Pj.) Gubernur Teguh Setyabudi pada November–Desember 2024.							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										Hujan Ekstrem Landa Vietnam, 35 Orang Tewas dan Kerugian Capai Rp9,6 Triliun
									
									
										
											
										
									
								
							
							
								Dengan demikian, program-program unggulan yang dicanangkan pasangan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno belum dapat langsung dijalankan melalui APBD tahun tersebut, kecuali dalam bentuk penyesuaian atau penggantian kegiatan melalui mekanisme perubahan APBD yang diarahkan untuk mendukung pelaksanaan visi dan misi pemerintahan Pramono–Rano.							
						
							
							
								Sementara itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta periode 2025–2029 baru rampung disusun sekitar September- Oktober 2025. Dari dokumen inilah visi, misi, serta program prioritas Pramono–Rano mulai dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan jangka menengah. Dengan demikian, pelaksanaan penuh program mereka secara struktural baru akan dapat berjalan secara efektif melalui APBD tahun 2026 dan seterusnya.							
						
							
							
								Dalam konteks penanganan banjir, hal ini perlu dipahami sebagai kerangka kerja institusional. Pada tahun pertama masa jabatannya, Gubernur Pramono belum memiliki kendali penuh atas struktur anggaran dan program strategisnya. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil pada periode awal lebih bersifat responsif terhadap situasi darurat, bukan agresif dalam mengimplementasikan strategi jangka panjang sebagaimana tertuang dalam RPJMD yang baru disahkan.							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										Tips Supaya Tak Kesetrum Listrik saat Air Masuk Rumah
									
									
										
									
								
							
							
								Masalah banjir di Jakarta sendiri bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial Belanda hingga kini, persoalan banjir di kawasan Kali Ciliwung, rob di bagian utara, serta kiriman air dari wilayah hulu telah menjadi tantangan struktural. Penanganan banjir karena itu harus dilakukan secara terencana, melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas wilayah, serta memadukan aspek teknis, ekologi, tata ruang, dan regulasi.							
						
							
							
								Namun, muncul pandangan keliru yang menilai kebijakan Gubernur Pramono bersifat “reaktif”. Kritik semacam ini muncul dari sebagian pihak yang tidak memahami konteks kebijakan dan keterbatasan kelembagaan di awal masa pemerintahan. Sebagai contoh, ada yang menuding bahwa Pemprov DKI baru bertindak setelah banjir terjadi, bukan dalam rangka pencegahan.							
						
							
							
								Dalam masalah banjir di Jakarta, faktor penyebabnya sangat beragam. Pertama, banjir disebabkan oleh kiriman air dari wilayah hulu, termasuk dari Bogor, bukan semata-mata akibat curah hujan di Ibu Kota. Selain itu, pasang air laut (rob) dan intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah Jakarta juga turut memperburuk kondisi genangan.