Oleh R HAIDAR ALWI
Baca Juga:
Kementerian ESDM Buka Suara, Soal Tudingan AS Ada Kerja Paksa di Industri Nikel RI
REVOLUSI kendaraan listrik menjadikan nikel sebagai mineral yang sangat berharga di masa depan.
Logam berwarna putih keperak-perakan dengan sedikit semburat keemasan itu merupakan komponen yang dominan dalam pembuatan baterai mobil listrik.
Baca Juga:
Balai Kemenperin di Makassar Dukung Pemerataan Ekonomi Wilayah Timur
Nikel diyakini mampu menyimpan daya lebih baik dibandingkan bahan lainnya.
Sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia yang menguasai 30 persen pasokan global pada tahun 2020, Indonesia berambisi untuk menjadi pemain penting dalam revolusi mobil listrik.
Sejumlah aturan pun diterbitkan, satu di antaranya yakni Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan yang telah diundangkan sejak 12 Agustus 2019.
Terhitung sejak 1 Januari 2020, Pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor nikel yang berbentuk bahan mentah.
Uni Eropa yang tidak terima dengan kebijak tersebut bahkan sampai melayangkan gugatan.
Namun, Presiden Jokowi tidak gentar dan berkali-kali menegaskan keseriusannya itu, termasuk menghadapi potensi gugatan dari World Trade Organization (WTO).
Dengan mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian di smelter dalam negeri, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang jauh berlipat ketimbang mengapalkan bijih nikel yang masih berupa “bahan mentah”.
Dengan adanya hilirisasi industri nikel, nilainya bisa meningkat hingga 7 kali lipat jika diolah jadi sel baterai.
Dan jika menjadi mobil listrik akan meningkat lebih besar lagi sampai 11 kali lipat.
Kepala BPS, Margo Yuwono, melalui jumpa pers secara virtual pada Jumat (15/10/2021), mengatakan, pada tahun 2020, Indonesia sama sekali tidak mengekspor bijih nikel.
Namun, fakta di lapangan sangatlah berbeda.
Dalam artikel yang diterbitkan Reuters pada Rabu (20/1/2021), sebanyak 3,4 juta ton atau setara dengan USD 193,6 juta bijih nikel asal Indonesia masuk ke China sepanjang tahun 2020.
Data ini bersumber dari General Administration of Customs People's Republic of China (GACC) atau Bea Cukai China.
Dengan rata-rata nilai tukar JISDOR 2020 Rp 14.577 per USD, nilai impor bijih nikel tersebut setara dengan Rp 2,8 triliun.
Walaupun jumlah tersebut turun 85,8% dibanding tahun 2019, Indonesia masih menjadi negara terbesar kedua yang memasok nikel bagi China setelah Filipina (31,98 juta ton).
US Internasional Trade Commission dalam Executive Briefings on Trade, Mei 2021, menyebut, sebagian besar nikel yang diekspor Indonesia ke China masih berbentuk bahan mentah.
Beberapa analis membongkar, bagaimana nikel asal Indonesia “diselundupkan” ke China.
Diduga, ekspor dari Indonesia tercatat sebagai bijih besi dengan kode HS 2601, sedangkan tercatat di Bea Cukai Cina sebagai bijih nikel dengan kode HS 2604.
Menurut analis CRU, Ellie Wang, pengiriman ini biasanya terdiri dari bijih yang memiliki kandungan nikel 1% dan besi lebih dari 50%.
Keterangan tersebut kemudian diaminkan oleh analis BMO, Colin Hamilton.
“Permainan” kode HS semacam ini juga sering dikeluhkan oleh Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, karena merugikan industri baja nasional.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus menelusuri, menindak tegas, dan menutup celah yang ada.
Karena, selain berpotensi merugikan negara Rp 2,8 triliun per tahun, masalah tersebut juga menjadi hambatan dalam mewujudkan cita-cita Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai pemain penting kendaraan listrik di masa depan. (R Haidar Alwi, Presiden Haidar Alwi Institute)-dhn