Oleh AGUSTIAN GANDA PUTRA SIHOMBING
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
RAGAM usaha kian muncul di tengah kemelut pandemi Covid-19 untuk melakukan pembaruan di muka bumi.
Sejarah hidup manusia membuktikan bahwa dalam milenium baru ini, aktivitas perusakan lingkungan hidup semakin menjadi-jadi.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Apabila suguhan data dan realitas tentang tragedi perusakan lingkungan hidup dicermati secara komprehensif, setiap orang pasti akan gemetar membayangkan berbagai risiko yang amat berbahaya di masa depan.
Bukan hanya manusia yang menjadi korban, kelompok flora dan fauna --sumber makanan manusia-- pun turut terancam.
Ditambah lagi, usia bumi yang sudah semakin tua turut memberikan pengaruh signifikan terhadap gejala alam dan siklus perkembangan segala makhluk di dalamnya.
Mau tak mau, manusia sebagai makhluk yang sungguh punya kapasitas sempurna sudah seharusnya menaruh hati dan cintanya untuk peduli pada bumi.
Setiap orang dipanggil untuk menciptakan kehidupan dan peradaban yang ekologis walau tak sesempurna ketika bumi masih ”muda/baru tercipta” dan belum sakit-sakitan.
Sudah terlalu lama bumi dibiarkan menderita karena era industri dan ”kegilaan” manusia yang tak punya batas-batas ekologis.
Sudah saatnya setiap orang bereksodus menuju dunia yang ekologis.
Tiga Prinsip
Bumi --planet tempat manusia lahir, diberi makan, dibimbing, dan disembuhkan-- telah luka selama dua abad karena eksploitasi industri yang begitu ekstrem.
Dari alam, manusia mengeruk berbagai sumber daya tanpa peduli apakah itu dapat dibarui atau tidak dan berbahaya atau tidak.
Sementara itu, kepada alam sendiri, manusia memberikan dan mengembalikan sisa atau ampasnya.
Kata kasarnya, manusia menebarkan polusi di mana-mana.
Ada polusi yang dilepaskan ke udara, air, dan tanah.
Selain itu, Alexander Sonny Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (2010) mengungkapkan bahwa kepunahan hayati dan kekacauan iklim turut menjadi akibat lokal dan global kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh manusia.
Manusia tidak lagi mengonsumsi sumber daya alam secara ugahari atau seperlunya.
Akan tetapi, manusia bersikap tamak terhadap sumber daya alam, selagi bisa dikonsumsi tanpa pikir hari esok.
Bahkan, tendensi proses konsumsi manusia sudah bertengger pada prinsip ekonomis yang semata-mata terarah kepada keuntungan dan investasi gelap.
Manusia era post-industri lebih pilih acuh pada prinsip-prinsip yang tertanam di bumi (cosmos) demi meraup keuntungan ekonomis.
Thomas Berry (1929-2009) dalam The Dream of the Earth (1988) menyampaikan bahwa ada tiga prinsip kosmos yang seharusnya diaktifkan kembali setelah revolusi industri.
Prinsip pertama adalah diferensiasi.
Di bumi terdapat kualitas keberagaman yang sungguh menakjubkan.
Keberagaman tersebut sungguh melimpah dan selalu mengalami proses pembaruan yang tak terbatas, berjalan dari waktu (chronos) ke waktu dan dari abad yang satu ke abad berikutnya.
Prinsip kedua adalah subyektivitas yang meningkat.
Artinya, kesatuan interior psikis secara konsisten meningkat berjalan lurus dengan semakin kompleksnya kesatuan fungsi struktur organik.
Pertumbuhan sistem saraf dan otak memunculkan kebebasan yang lebih kuat akan kontrol terhadap kegiatan makhluk hidup.
Sementara prinsip ketiga adalah persekutuan.
Setiap penghuni bumi menjalin persekutuan satu sama lain dengan hakikatnya masing-masing.
Dalam persekutuan tersebut mengalir energi yang mampu menciptakan nuansa persaudaraan ekologis.
Kisah Baru
Ketika ketiga prinsip kosmis di atas disadari secara sungguh, setiap orang akan belajar menguntai satu kisah baru tentang memelihara bumi dan persaudaraan di dalamnya.
Kisah ini akan mengantarkan setiap orang pada segala peristiwa atau kejadian klasik di mana alam semesta telah memelihara manusia dalam kurun waktu yang lama.
Bumi saat ini memerlukan kisah penuh kedamaian dan keintiman antarsubyek penghuninya.
Kisah baru ini akan menunjukkan kepada manusia yang hidup sekarang maupun di masa depan krisis ekologis yang harus dirombak dan diobati.
Bukan hanya tradisi keagamaan, moral, dan humanis yang perlu dibarui, tetapi bagaimana manusia berelasi dengan bumi.
Pakar fisika Brian Swimme juga pernah berkata tentang kebaruan yang hendak dibawa.
”Alam semesta bergetar penuh ketakjuban melalui kedalaman manusia. Dari bagian terkecil ke luasnya sistem galaksi, kita memiliki suatu kejelasan baru secara empiris… Kita mengalami suatu identitas baru bersama dengan seluruh tatanan kosmis di dalam keberadaan kita sendiri.”
Untuk itu, diperlukan tingkat refleksi kritis dan mendalam akan keadaan bumi sekarang yang mengalami percepatan perusakan, di mana terdapat begitu banyak barang rongsokan, sampah, polusi, tragedi kemanusiaan dan ekologis, serta persaingan menjadi pihak adikuasa.
Efek tragis dari keadaan tersebut telah melukai bumi dan kehidupan manusia.
Untuk itu, manusia harus mengerti benar tentang apa yang akan terjadi ketika menghancurkan bentuk kehidupan bumi.
Sebab, proses penghancuran itu terarah kepada penghancuran bentuk kehadiran sang ilahi di dalam masing-masing makhluk.
Habitus Ekologis
Untuk itu, saat ini setiap manusia harus memainkan peran dalam mengembalikan keadilan, perdamaian, dan keutuhan asali bumi dan situasi persaudaraan yang sudah tergerus.
Dengan cara ini, setiap orang akan dapat mengantar bumi sampai pada terbukanya gerbang zaman ekologis yang terbarukan.
Transformasi sungguh dibutuhkan.
Transformasi yang dimaksudkan adalah perubahan dari norma dan nilai antropologis menuju norma dan nilai biosentris spiritual.
Pemikiran dan tindakan manusia harus terarah kepada konsep bahwa bumi merupakan komunitas kudus (a sacred community) yang harus dijaga dan dihormati.
Lantas, apakah segala bentuk kemajuan teknologi dan kreativitas manusia harus ditolak dan ditiadakan?
Jawabannya tentu tidak.
Malahan, alangkah baiknya jika segala pembaruan dan inovasi saat ini berjalan selaras dengan nilai-nilai ekologis, karena setiap kreativitas manusia merupakan kelanjutan dari kreativitas alam semesta.
Untuk itu, sudah sangat urgen gerbang zaman ekologis dibuka.
Hubungan antarorganisme dengan lingkungannya perlu diperbarui.
Visi bersama untuk menjaga keutuhan planet harus dimulai dari transformasi batin dan sosial yang ketat.
Visi ini ditanam sejak dan dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan ekologis yang masih kurang disentuh.
Apalagi di Indonesia, perhatian terhadap lingkungan hidup masih rendah karena dianggap sebagai pengetahuan tambahan atau sampingan.
Atau pendidikan ekologis masih sebatas kurikulum teoretis, bukan praktis.
Padahal, dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, terdapat semangat untuk mencintai tanah air yang satu, yakni Indonesia.
Muatan kata ”tanah air” tidak ditafsirkan secara dangkal, melulu konteks patriotisme heroik melawan penjajahan kolonial.
Tanah air sebenarnya juga merujuk pada alam dan bumi Indonesia yang begitu luas, indah, permai, dan kaya.
Inilah yang juga mesti dijaga, dipelihara, dan dilestarikan dengan semangat patriotisme sebagai warisan gemilang nusa dan hadiah terindah dari Sang Pencipta.
Indonesia sebenarnya harus menjadi satu negara, garda depan yang melakukan gebrakan pembaruan ekologis secara getol.
Varian agama, filosofi lokal, dan aksi heroik para aktivis dan pencinta lingkungan hidup di Indonesia sesungguhnya mengajak penduduk Indonesia untuk mencintai alam ciptaan sebagai bentuk syukur atas anugerah Sang Ilahi.
Semoga, penantian kita bersama akan zaman ekologis kian terbuka lebar di tanah air Indonesia.
Semoga pula semakin banyak insan bangsa yang berhabitus ekologis.
Sic fiat! (Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation atau JPIC Kapusin Medan - Divisi Lingkungan Hidup, Biarawan Ordo Kapusin Medan)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Menciptakan Zaman Ekologis”. Klik untuk baca: Menciptakan Zaman Ekologis - Kompas.id.