Ketika kita membeli, kita bukan hanya mengisi lemari, tapi memperkuat sirkuit saraf yang membentuk selera, identitas, dan kebiasaan.
Mode untuk Semua Otak
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Masyarakat Lebih Melek Prosedur Pemindahan Tiang Listrik
Namun, dalam semesta otak manusia yang begitu beragam, kita tidak boleh alpa pada neurodivergensi. Apa yang memikat bagi satu konsumen, bisa menjadi pemicu kelelahan sensorik bagi yang lain.
Sebuah dunia fesyen masa depan yang inklusif bukan hanya menampilkan beragam tubuh, tapi juga merangkul beragam cara otak merasakan, menimbang, dan mencinta.
Kita juga tak bisa mengabaikan warisan evolusioner dalam pilihan gaya. Kecenderungan terhadap simetri, warna mencolok, atau pakaian yang menonjolkan fitur tubuh bukanlah tren yang lahir kemarin sore. Ia berasal dari ribuan tahun adaptasi: sinyal vitalitas, dominasi, dan reproduksi yang dikodekan dalam lobus visual kita jauh sebelum dunia mengenal istilah haute couture.
Baca Juga:
Kolaborasi Ketahanan Pangan Lewat GPM, Mendag Busan Pastikan Harga Bapok Stabil dan Pasokan Terjaga
Di tengah kompleksitas ragam otak manusia, para desainer dan neuromarketer masa depan dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang besar: menciptakan pengalaman fesyen yang neuroadaptive.
Ini berarti tidak hanya menyesuaikan ukuran atau estetika, melainkan mengintegrasikan pemahaman tentang variabilitas pemrosesan sensorik dan kognitif ke dalam setiap elemen desain.
Contohnya, bagi individu dengan sensitivitas sensorik tinggi, seperti banyak penyandang autisme atau ADHD, busana yang terlalu bertekstur, beraroma kuat, atau menyala terang dapat menjadi sumber distres, bukan ekspresi diri.