Maka, muncul kebutuhan untuk mengembangkan smart textiles yang tidak hanya responsif terhadap suhu tubuh atau kelembapan, tetapi juga terhadap gelombang otak atau sinyal stres autonomik.
Teknologi seperti brain-computer interfaces (BCI) atau wearable EEG dapat diterapkan untuk menciptakan pakaian yang beradaptasi secara real-time dengan kondisi emosional pemakainya: menenangkan saat sistem saraf terangsang berlebihan, atau memicu semangat saat mendeteksi kelelahan mental.
Baca Juga:
Pemerintah Awasi Ketat Barang Impor Ilegal, Perusahaan Nakal Bisa Dicabut Izin
Di sisi lain, fashion juga bisa menjadi alat terapi neurosensorik, misalnya, melalui compression wearables yang memberikan tekanan lembut dan menstimulasi sistem proprioseptif, membantu individu dengan kecemasan atau gangguan pemrosesan sensorik untuk merasa lebih terkendali.
Dengan kata lain, masa depan fashion yang inklusif tidak hanya akan mencerminkan keragaman bentuk tubuh, tetapi juga menghormati arsitektur otak yang unik dari setiap individu.
Masa Depan Mode Ada di Otak Anda
Baca Juga:
Pacu Daya Saing Produk UKM Pangan, Kemendag Luncurkan UKM Pangan Award 2025
Bayangkan tahun 2045: Busana yang berubah warna sesuai suasana hati Anda, toko yang merespons denyut jantung dan pupil untuk menyajikan koleksi terbaik, bahkan parfum yang dirancang berdasarkan pemindaian limbik pribadi.
Dalam dunia seperti itu, pemasaran bukan lagi persuasi, melainkan ko-evolusi antara pikiran konsumen dan mesin kreatif.
Namun, dalam kilau kemajuan itu, satu hal tetap abadi: Mode akan selalu menjadi kisah tentang manusia.