Oleh AKHMAD RIZAL SHIDIQ
Baca Juga:
Apindo Ungkap Penyebab Tutupnya Banyak Pabrik dan PHK di Jawa Barat
TANGGAL 11 Oktober 2021, hadiah Nobel bidang ekonomi diberikan kepada David Card, Joshua Angrist, dan Guido Imbens.
Professor Card (UC Berkeley) meraih Nobel atas sumbangannya dalam riset-riset empiris dalam bidang ilmu ekonomi ketenagakerjaan; sedangkan Professor Angrist (MIT) dan Imbens (Stanford) atas sumbangan mereka dalam metodologi pengujian hubungan sebab-akibat (kausalitas).
Baca Juga:
Sejarah UMKM Nasional, Roda Penggerak Perekonomian Indonesia
Riset ketiga ekonom ini saling berhubungan erat.
Mereka juga pemain-pemain utama dalam apa yang disebut revolusi kredibilitas (the credibility revolution) di bidang ekonomi (Angrist dan Pischke, 2010).
Revolusi ini secara drastis mengubah wajah ilmu ekonomi, terutama mikroekonomi, dengan meletakkan desain riset di kursi terdepan dalam analisis empiris.
Desain riset (research design) ini sangat penting guna membuktikan apakah suatu kebijakan atau fenomena ekonomi tertentu memang benar-benar menyebabkan terjadinya perubahan yang diinginkan atau sesuai prediksi teori.
Penekanan yang lebih serius terhadap desain riset ini membuat temuan-temuan dalam ilmu ekonomi kini jauh lebih bisa dipercaya karena uji empiris hubungan sebab-akibat antarvariabelnya ditopang metodologi yang lebih transparan dan ketat.
Mungkin kita bertanya, apa sulitnya membuktikan, misalnya, mengutip laman Panitia Nobel 2021, bahwa semakin lama seseorang menempuh pendidikan akan meningkatkan pendapatannya di masa depan?
Bukankah bisa dilihat dengan membandingkan rata-rata pendapatan orang yang bersekolah, misalnya 12 tahun, dengan yang bersekolah hanya 9 tahun?
Persoalannya, ada sejumlah faktor lain yang memengaruhi lamanya seseorang bersekolah.
Faktor-faktor ini membuat hitungan sederhana perbedaan rata-rata pendapatan antara yang bersekolah 12 dan 9 tahun menjadi bias --tidak bisa serta merta dianggap hanya disebabkan oleh lamanya seseorang bersekolah.
Selain itu kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang besar bisa jadi sebaliknya juga menyebabkan ia mampu bertahan duduk di bangku sekolah lebih lama, mengaburkan arah dan besarnya hubungan sebab-akibat antara lama sekolah dan pendapatan.
Revolusi kredibilitas adalah rangkaian agenda riset empiris dan ekonometri yang menekankan perlunya desain riset untuk mengatasi bias penarikan kesimpulan tersebut.
Secara umum, ada dua agenda riset.
Agenda pertama memperbanyak eksperimen langsung dalam bentuk uji acak terkendali (randomized controlled trial) dalam riset-riset ekonomi.
Agenda kedua membakukan, sekaligus memberi landasan teori ekonometri, prosedur strategi-strategi riset agar menyerupai eksperimen uji acak (quasi-experimental researches) untuk data-data di mana kebijakan (treatment) atau variabel penyebab tidak disebarkan secara acak.
Agenda riset pendekatan eksperimen uji acak terkendali, khususnya dalam pengentasan kemiskinan dunia, telah membuahkan hadiah Nobel 2019 untuk Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer.
Sementara peraih Nobel ekonomi tahun ini lebih memusatkan perhatiannya pada metodologi desain riset quasi-experimental, terutama dalam bidang ekonomi ketenagakerjaan.
Dua hadiah Nobel dalam selang waktu berdekatan ini mengukuhkan besarnya pengaruh revolusi kredibilitas dalam ilmu ekonomi.
Pelajaran bagi Indonesia
Lantas kira-kira apa relevansinya bagi kita di Indonesia? Apa yang bisa dipelajari dari riset-riset para pemenang Nobel 2021 kali ini?
Pertama, dalam kerangka kebijakan publik dan demokrasi, kita bisa mengambil pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam menerima atau menolak klaim berbagai pihak tentang dampak kebijakan atau perubahan situasi ekonomi tertentu, baik negatif maupun positif.
Sering kali klaim keberhasilan atau sebaliknya, tuduhan kegagalan program pemerintah hanya didasari perbandingan angka rata-rata indikator tujuan kebijakan --misalnya kenaikan pendapatan-- yang diperoleh penerima program dan yang tidak.
Sering kali juga bukti yang disodorkan sekadar perbandingan indikator keberhasilan sebelum dan sesudah program diterapkan.
Perbandingan yang naif ini tidak memadai untuk menyimpulkan, apakah kebijakan itu secara umum menyebabkan naiknya, atau turunnya, pendapatan seseorang.
Seperti yang ditegaskan oleh riset-riset pemenang Nobel ekonomi kali ini, harus ada strategi untuk mengikis bias yang datang dari faktor-faktor di luar intervensi kebijakan.
Akibat revolusi kredibilitas, di banyak seminar akademis di berbagai fakultas ekonomi saat ini, pembawa makalah harus menyampaikan dan mempertahankan dengan jelas strategi apa yang ia pakai guna membuktikan apakah kesimpulan yang nanti ia ambil dari data yang dipakai memang benar-benar memenuhi syarat hubungan sebab-akibat.
Tentu saja sebagian besar dari kita bukan ekonom dan awam terhadap detail strategi empiris uji hubungan sebab-akibat di bidang ekonomi.
Namun, saya rasa ada baiknya kita setidaknya bersikap sama tiap kali membaca klaim atau kritik terhadap sebuah program ekonomi dengan selalu mempertanyakan: apakah benar keberhasilan atau kegagalan tersebut hanya disebabkan oleh program yang diterapkan?
Apakah tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi desain untuk penerima program?
Seberapa besar potensi bias dari akibat luput memperhitungkan faktor-faktor yang memengaruhi penerima program itu?
Sikap kritis ini akan meningkatkan kualitas debat publik kita --prasyarat penting untuk demokrasi yang sehat.
Kedua, riset para pemenang Nobel ini semakin mendekatkan dunia akademis, dalam hal ini ekonomi, dengan pengambilan keputusan di lapangan.
Di balik justifikasi teoretis yang mungkin terlihat rumit, secara intuitif elemen-elemen penting dan hasil-hasil riset dari revolusi kredibilitas ini cukup sederhana untuk bisa dipahami para pengambil keputusan dan kalangan awam sehingga meningkatkan kegunaan riset-riset ekonomi untuk perbaikan sosial.
Apakah ini terjadi di Indonesia juga?
Sedikit demi sedikit, pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) semakin populer di Indonesia.
Sepanjang pengetahuan saya, sejumlah kebijakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan di Indonesia yang dimotori Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), khususnya dalam menentukan sasaran penerima program (targeting), telah didasari studi-studi empiris yang secara ketat mengadopsi prinsip-prinsip uji kausalitas, terutama uji acak terkendali.
Hal yang sama belakangan dilakukan Kementerian Keuangan dalam upayanya mendesain administrasi pemungutan pajak yang lebih efektif.
Kerja sama ini bisa lebih optimal lagi apabila penyedia riset, dalam hal ini perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian Indonesia, lebih banyak lagi melakukan riset dengan metodologi yang lebih ketat untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara kebijakan dan sasarannya.
Di sisi lain, pengambil kebijakan, pemerintah, juga perlu lebih terbuka terhadap masukan dari hasil riset dengan metode ini --hal yang tak selalu mudah karena kerap kali pertimbangan politis lebih mendominasi ketimbang obyektivitas dan transparansi akademis.
Ketiga, topik riset pemenang Nobel 2021 secara tidak langsung menunjukkan pentingnya literasi metodologi statistik.
Antusiasme terhadap big data di Indonesia perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan statistik di kalangan awam.
Perbaikan ketersediaan dan kualitas data tentu saja sangat penting untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan, tetapi peningkatan kemampuan mengolah data untuk menghasilkan informasi yang berguna, seperti metodologi statistik, juga sama atau mungkin malah lebih penting.
Dalam hal ini, banjirnya serta semakin cepatnya sirkulasi informasi membuat literasi statistik kian penting untuk melawan disinformasi, hoaks, atau sekadar penyebaran analisis abal-abal.
Tak hanya untuk mencerna informasi kuantitatif, literasi statistik juga secara umum bermanfaat guna menanamkan sikap rasionalitas serta berpikir logis dan obyektif --hal-hal yang sering kali absen dalam banyak debat dan wacana publik kita.
Harus diakui, persoalan literasi statistik ini bersifat struktural --bagian dari karut-marutnya kualitas pendidikan serta kecenderungan meningkatnya iklim anti-sains di negara kita.
Walaupun demikian, dengan sumber daya yang terbatas, walaupun tak terlihat mentereng seperti ide-ide besar semacam Indonesia 4.0 atau ambisi untuk mengadopsi inovasi teknologi (sangat) tinggi, agenda peningkatan literasi statistik di dunia pendidikan dan kalangan publik ini lebih memungkinkan dan lebih bermanfaat secara luas.
Kembali ke Nobel ekonomi 2021, ketiga pemenangnya menyumbang alat-alat analisis yang kuat dan berguna untuk membuktikan hubungan sebab-akibat.
Terobosan tersebut barangkali tak terdengar spektakuler bagi khalayak ramai, namun alat analisis tersebut berguna secara langsung dalam memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan publik dan mengurai isu-isu kontroversial yang sering menjadi perdebatan publik.
Untuk itu, perlu dirayakan dan, yang lebih penting lagi, dipelajari bersama-sama. (Akhmad Rizal Shidiq, Dosen Ekonomi Leiden Institute for Area Studies, Universitas Leiden)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Nobel Ekonomi 2021 dan Revolusi Kredibilitas”. Klik untuk baca: Nobel Ekonomi 2021 dan Revolusi Kredibilitas - Kompas.id.