Para penyelenggara negara disemua tingkat level pemerintahan, dan disemua jenjang birokrasi yang diberi tugas mengurus pendataan jangan bermain-main dan mempermainkan data orang miskin untuk dilindungi jaminan kesehatannya. Harus dicermati betul tidak eligiblenya 5 juta itu apakah memang sudah dipetakan dengan benar.
Apakah mereka yang 5 juta itu sudah mengetahui atau terlacak tentang status mereka yang non aktif. Pekerjaan ini tidak mudah karena sangat dinamis. Memerlukan profesionalitas petugas, serius, dan ada empaty terhadap mereka orang miskin yang terpental itu.Kata kuncinya harus bekerja dengan hati.
Baca Juga:
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Rilis Buku ke-32 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat'
Masalah klasik dari verifikasi dan validasi ini apakah didukung dengan dana operasional yang memadai ditingkat lapangan. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin pendataan itu dilakukan dari jarak jauh saja atau diatas meja saja. Disini perlu keterbukaan dan kejujuran petugas. Mandat Konstitusi ini pertanggungjawabannya dunia dan akhirat. Jika mereka terpental karena kesalahan data, dan pada saat ke RS tidak dapat dilayani karena non aktif, dan nyawanya terancam. Alangkah kejamnya negara terhadap rakyatnya yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
Mohoon maaf, mungkin saya yang belum mengetahuinya, tetapi persoalan 5 juta peserta itu sejak Mensos Risma sampai sekarang kita belum mendapatkan penjelasan yang detail antara Kemensos dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Bahkan berita yang mencuat adalah gesekan antara Pejabat Kementerian dengan pihak Dinsos kab./Kota.
Bahkan ada keluhan Pemda Kab./Kota, mereka sudah menyampaikan DTKS hasil verifikasi dan validasi dikirimkan ke Pusat Data dan Informasi Kemensos, ternyata feebback yang mereka terima masih data yang lama tidak dikoreksi sesuai up dating Pemda. Apakah kejadian yang sama masih berulang sekarang ini saya tidak mengetahuinya.
Baca Juga:
Penjelasan Kemensos yang mengelitik saya dan sungguh memprihatinkan adalah ada sebanyak 2. 300. 000 peserta lainnya terbukti melalui uji acak atau survei lapangan berada pada desil 6 hingga desil 10, yang dianggap tidak memenuhi kriteria penerima bantuan PBI JKN atau BPJS Kesehatan.
Karena kalau sasarannya adalah membersihkan data, dengan verifikasi dan validasi, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan survei, atau acak atau uji sampling. Kita tidak berbicara soal angka agregat tetapi by name and by address, metodenya tidak bisa dengan survey atau metode sampling.
Dengan kata lain, jumlah 2,3 juta itu tidak bisa dijadikan dasar kebijakan untuk secara langsung mengeluarkan mereka atau menon aktifkan PBI JKN.