INDONESIA, sebagai negara kepulauan, untuk efisiensi dan kecepatan logistik barang dan penumpang harus menggunakan angkutan udara.
Pertumbuhan angkutan udara Indonesia pernah booming sekitar tahun 2000 setelah terbitnya Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1980 Tentang Larangan Pemasukan dan Pemberian Izin Pengoperasian Pesawat Terbang.
Baca Juga:
Kesalahan Fatal Qantas, Tiket Kelas Satu Dibandrol dengan Diskon 85%
Dengan keluarnya Kepres tersebut, industri penerbangan Indonesia mengalami perkembangan pesat dari sisi jumlah maskapai berjadwal dan penumpang.
Namun, perkembangan dunia penerbangan Indonesia yang demikian pesat ternyata tidak dibarengi dengan pengawasan ketat oleh regulator, sehingga pada 2007 Uni Eropa mengeluarkan "fatwa" larangan untuk seluruh maskapai penerbangan sipil Indonesia mendarat dan melintas di wilayah udara Uni Eropa (UE).
Kebijakan UE tersebut memukul dunia penerbangan Indonesia karena dianggap mengabaikan keselamatan penerbangan yang berdampak pada dunia penerbangan sipil internasional. Untungnya dengan segala upaya keras Direktorat Jenderal Perhubungan Udara kala itu, UE mencabut larangan terbangnya seluruh maskapai penerbangan Indonesia pada 14 Juni 2018.
Baca Juga:
Avtur Ramah Lingkungan, Senjata Baru Indonesia di Pasar Penerbangan Dunia
Diharapkan dengan dicabutnya larangan terbang oleh UE, penerbangan sipil Indonesia maju dengan pesat, namun kenyataannya saat ini semakin menurun karena kalah bersaing dengan maskapai penerbangan asing.
Pasar umrah pun yang telah menjadi lahan subur maskapai domestik bertahun tahun sudah di ijon dan perlahan tetapi pasti habis digerogoti oleh maskapai penerbangan asing. Badai terus berlanjut ketika datang Covid-19 dan mahalnya harga avtur.
Industri penerbangan sipil Indonesia terus merosot, setelah dihantam Covid-19, maskapai nasional Garuda Indonesia Group koma karena krisis keuangan dan buruknya manajemen pengelolaan.
Akibatnya hingga saat ini 70% pangsa penerbangan sipil di Indonesia hanya dikuasai oleh satu kelompok saja. Sisanya kebagian remah-remahnya karena minimnya kocek dan jumlah pesawat.
Kondisi Lapangan
Saat deregulasi terjadi lonjakan jumlah maskapai dari hanya lima menjadi lima belas maskapai, dan muncullah tiga kelas penerbangan sipil berjadwal: full, medium dan low cost services. Harga tiket penerbangan yang sebelum deregulasi diatur pemerintah menjadi mekanisme pasar.
Pemerintah hanya mengatur harga tiket batas atas dan bawah supaya muncul persaingan yang sehat di pasar. Jumlah penumpang pun meningkat hingga 60 juta pada 2012 karena adanya perpindahan dari moda lain khususnya di Pulau Jawa.
Namun kondisi ini tidak berjalan lama, dan saat ini sudah masuk kembali ke siklus suramnya industri penerbangan. Sudah lampu kuning menjelang merah.
Dari data di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan 2023, dari sejumlah 1.499 pesawat yang terdaftar, hanya ada 1.116 pesawat yang Air Operator Certificate (AoC) atau izinnya yang masih berlaku.
AoC ada dua, yaitu AoC 121 (sertifikat yang diberikan kepada maskapai yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di atas 30 tempat duduk) dan AoC 135 (sertifikat yang diberikan kepada maskapai yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di bawah 30 tempat duduk) .
Kalau kita masuk lagi ke data pesawat yang masih bisa terbang, hati kita menjadi semakin miris membacanya. Dari data Kementerian Perhubungan Agustus 2023, hanya ada 400 pesawat dengan AoC 121 dan hanya 217 pesawat dengan AoC 135 yang bisa melayani konsumen.
Mengerikan sekali kualitas pelayanan jasa angkutan udara kita saat ini. Dari jumlah itu sekitar 70% dilayani oleh Lion Group (Lion, Batik, Wings, dan Super Air Jet).
Masih berdasarkan data dari Kemenhub, hingga 30 Agustus 2023 kesiapan armada pesawat penumpang niaga berjadwal (AoC 121 dan 135) hanya tinggal 393 pesawat yang siap beroperasi (GA Group: 96, LAG: 223, Pelita Air: 7, Susi Air: 27, Sriwijaya Group: 5, Trigana: 7 dan Transusa: 5) karena sisanya 173 pesawat dalam perawatan dan tidak terbang atau dilarang terbang oleh lessor.
Dari yang masih terbang pun kondisinya tidak baik-baik amat; sebagian ada yang bermasalah tetapi masih laik terbang menurut standar Direktorat Perhubungan Udara, namun tetap riskan untuk terbang. Apalagi jika cuaca buruk dan membutuhkan awak serta pesawat yang prima.
Ratusan pesawat yang sedang dikandangkan juga tidak dapat langsung diperbaiki karena sulit dan mahalnya suku cadang atau dilarang terbang oleh lessor (karena menunggak cicilan) dan lain-lain.
Suku cadang pesawat saat ini memang langka di dunia dan harganya mahal sebagai dampak saling mengembargo dalam kasus perang Rusia - Ukraina.
Seperti kita ketahui bahwa logam sebagai bahan dasar pembuatan suku cadang pesawat berasal dari kawasan Rusia, sementara industrinya ada di Kawasan Eropa dan Amerika. Jadi dampak konflik Rusia - Ukraina sudah merambah ke industri penerbangan dunia secara keseluruhan.
Kondisi tersebut diperparah dengan harga avtur yang terus meningkat sebagai dampak US dan Arab Saudi mengurangi kuota mereka dan juga pelemahan nilai rupiah.
Harga avtur per 23 September 2023 rata rata Rp 17.000 per liter dan akan menuju Rp 19.000 per liter berikut pajak. Jadi hari ini jangan berharap ada tiket murah termasuk di low cost carrier.
Lalu bagaimana nasib maskapai nasional kita yang bernama Garuda Indonesia? Yang jelas tagihan ke para lessor akan semakin menumpuk dan biaya operasi serta perawatan pesawat juga akan meningkat.
Langkah Pemerintah
Dengan mahalnya harga tiket pesawat dan merosotnya daya beli masyarakat dapat dipastikan penumpang pesawat domestik bukan wisatawan. Jumlah wisatawan domestik menurun drastis.
Penumpang pesawat berjadwal saat ini adalah ASN Kementerian/Lembaga (70%) dan sisanya sektor bisnis. Pengguna jasa penerbangan di Pulau Jawa, 75% sudah beralih ke moda angkutan lain, seperti kendaraan pribadi, bus/travel, dan kereta api yang lebih murah, apalagi jika melakukan perjalanan bersama.
Ketiadaan dan mahalnya suku cadang sudah memulai kembali bisnis kanibalisme suku cadang seperti tahun-tahun saat booming maskapai.
Jika kondisi demikian tanpa ada pengawasan ketat, akan meningkatkan kecelakaan fatal penerbangan. Cuaca sebentar lagi akan memburuk, regulator harus kerja keras menerapkan peraturan perundang undangan yang ada seketat mungkin, termasuk peraturan ICAO dan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Jangan ragu untuk melarang terbang pesawat yang tidak laik terbang. Sebaiknya inspeksi pesawat sebelum terbang atau ramp check harus kembali dilakukan.
Juga pastikan bahwa pasar suku cadang bekas atau rekondisi tidak beroperasi kembali seperti zaman jahiliyah demi keselamatan penerbangan.
Ditjen Perhubungan Udara harus tegas jika pesawat masih laik terbang tetapi ada kerusakan yang secara teknis tidak mengganggu keselamatan penerbangan tetapi mengganggu kenyamanan penerbangan, seperti matinya A/C atau Auxiliarly Power Unit (APU), dan sebagainya, pesawat harus segera di-grounded demi keselamatan penerbangan secara total.
Jika tiket semakin mahal, sebaiknya harus ada kebijakan yang mumpuni dari regulator, seperti yang dilakukan oleh negara lain.
Misalnya semua penerbangan sipil berjadwal harus low cost, yang terpenting tiket terjangkau, biaya operasional tertutup, dan keselamatan penerbangan tetap yang utama; atau penghapusan pajak impor suku cadang dan sebagainya.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
Artikel ini sudah tayang di Detikcom