WAHANANEWS.CO – Ternyata, Forum Purnawirawan Prajurit TNI tidak main-main dengan Pernyataan Sikap Purnawirawan Prajurit TNI pada Februari 2025 yang lalu, yang berisi 8 poin tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Presiden Prabowo merespons normatif melalui Penasehat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto, antara lain ada hal yang tidak menjadi domain presiden, tetapi ada di legislatif dalam prinsip trias politika.
Baca Juga:
Purnawirawan Desak Pemakzulan Gibran, Ternyata Eks Relawan Anies-Muhaimin
Respons presiden melalui Wiranto itu, bagi Forum Purnawirawan Prajurit TNI ibarat “amunisi” untuk bergerak lebih lanjut yang diarahkan ke sasaran “tembak” parlemen yaitu DPR RI dan MPR RI.
Forum itu memerlukan waktu beberapa bulan untuk konsolidasi dan merapatkan barisan yang terlihat masih sigap, walaupun sudah dimakan usia. Semboyan “Prajurit tak Pernah Mati”, mungkin sangat tepat dialamatkan kepada para purnawirawan ini.
Gelombang purnawirawan yang berpangkat Jenderal dan Kolonel yang bergabung semakin banyak. Forum yang diminati semula 103 jenderal; 73 laksamana; 65 marsekal; 91 kolonel, saat ini menurut info “ordal” seorang Laksamana Pertama TNI (Purn) yang saya kenal baik, jumlahnya terus bertambah.
Baca Juga:
Tanam Pohon di IKN, Gibran Tegaskan Komitmen pada Alam dan Budaya
Fokus mereka mengerucut pada poin 8 untuk memakzulkan Gibran sebagai wakil presiden. Bunyi poin 8 adalah “Mengusulkan pergantian wakil presiden kepada MPR karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman.
Kedelapan butir pernyataan itu sangat serius dan menyangkut sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Catatan kami, sejak Republik Indonesia ini berdiri, belum pernah terjadi peristiwa hukum dan sekaligus politik yang melibatkan mantan Wakil Presiden/Panglima TNI, mantan Wakil Panglima TNI, dan mantan kepala staf tiga angkatan, yakni dara, laut, dan udara yang menuntut dimakzulkannya wakil presiden.
Membidik Parlemen
Kemungkinan, sebagian masyarakat menduga gerakan FPP TNI menurun aktivitasnya. Atau, mungkin layu sebelum berkembang. Ternyata, mereka terus bergerak. Berdiskusi terus, merumuskan formula tuntutan yang argumentatif secara hukum, sebagai pintu jalan menuju pemakzulan yang konstitusional.
Kurangnya pemberitaan pers karena semuanya kena “tsunami” isu ijazah palsu S-1 Jokowi, dan semakin heboh dan hangat tema podcast berkaitan dengan pernyataan Bareskrim Polri bahwa ijazah S-1 dari UGM Jokowi adalah asli, “…eh….identik ding.”
Namun, karena “prajurit tak pernah mati”, FPP TNI membuktikan lagi eksistensinya dengan membuat surat: Perihal Usulan Pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, bernomor: 003/FPPTNI/V/2025, tanggal 26 Mei 2025. Surat ditujukan kepada Ketua MPR dan Ketua DPR.
Bola panas kini bergulir di DPR dan MPR. Apakah kedua lembaga negara ini bersikap dingin, hangat, atau biasa-biasa saja, kita lihat dalam waktu sebulan mendatang.
Surat itu luar biasa. Isinya berbobot sepertinya ada sentuhan tangan ahli hukum yang sudah memahami lembaga hukum dan UU yang menjadi titik celah untuk masuk memakzulkan Gibran.
Mulai dari konstitusional, UU 1945 Amandemen III, Pasal 7A dan 7B. Selanjutnya mengutip TAP MPR RI No. XI/1998, UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (2),dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (5), (6), (7), terkait conflict of interest Ketua MK Paman Usman (Ketua MK, Anwar Usman adalah paman sambungnya Gibran).
Selain aspek konstitusional tersebut di atas, yang menarik dalam surat itu adalah aspek argumentasi hukum. Ada 4 aspek hukum yang diuraikan secara detail–umumnya kita sudah pernah membaca di pelbagai platform media massa.
Aspek pertama, menguraikan tentang pelanggaran hukum, etika, dan Konflik kepentingan dengan narasi fakta hukum yang detail dan argumentatif.
Aspek kedua, kepatutan dan kepantasan. Aspek ini menyoroti tidak patut dan tidak pantasnya Gibran sebagai wakil presiden. Terutama, setelah 6 bulan menjabat semakin menunjukkan bahwa Gibran itu belum punya “maqam” sebagai wakil presiden.
Ada narasi yang menarik yang disampaikan para Purnawirawan itu, yakni kekhawatiran mereka Gibran ini menjadi beban bagi Prabowo dalam menjalankan tugas kepresidenannya.
Aspek ketiga, dari sisi moral dan etika, kelakuan Gibran terkait akun “fufufafa” yang sudah diketahui seluruh pelosok penduduk Indonesia. Persoalan moral dan etika di akun itu yang patut diduga pemiliknya adalah Gibran, sangat menghina Prabowo dan keluarganya.
Perbuatan itu dinilai tidak pantas dilakukan oleh seorang calon wakil presiden yang kemudian mendampingi Presiden Prabowo yang sudah diejek, dicaci-maki oleh “si fufufafa”.
Aspek keempat, berkaitan dengan dugaan korupsi Jokowi dan keluarganya. Soal ini sudah banyak diangkat di berbagai media siaran. Tuntutan adili Jokowi semakin marak dan meluas di berbagai provinsi. Kasus-kasus KKN keluarga Jokowi, termasuk Gibran dan adiknya soal suntikan dana penyertaan modal dari oligarki untuk jualan pisang goreng dan martabak.
Konkritnya, usulan FPP TNI jelas dan terang berbunyi: berdasarkan usulan tersebut, kami mendesak DPR RI segera memproses pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Surat tersebut, ditandatangani oleh 2 Jenderal TNI (Purn), 1 Marsekal TNI (Purn) , dan 1 Laksamana TNI (Purn). Mewakil ketiga matra pensiunan TNI. Apakah surat FPP TNI itu dapat menjadi daya-ungkit untuk dibahas sebagai proses politik di DPR? Tentu, tidak terlepas kemana arah angin politik Indonesia.
Surat itu juga ditembuskan kepada para ketua partai-partai politik. Apakah mereka serius membaca dan membahasnya? Entah, tiada yang mengetahuinya (?) Kecuali Ketua Partai itu sendiri dengan induk semang tempat mereka diternak.
Prajurit yang sejati adalah prajurit yang setia pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Dan, jangan lupa habitat Prabowo adalah prajurit sejati, yang sudah terbukti dalam perjalanan hidupnya di usia 74 tahun.
Cibubur, 4 Juni 2025
*) Dr.Drs.Apt. Chazali H Situmorang, M.Sc. CIRB adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen Fakulta Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (FISIP UNAS).
[Editor: Hendrik Isnaini Raseukiy]