Oleh ALBERT ARIES
Baca Juga:
Putra Kelahiran Serui, Irjen Pol Alfred Papare Menjadi Kapolda Papua Tengah
BELAKANGAN ini Kepolisian Negara Republik Indonesia bertubi-tubi mendapat sorotan dari masyarakat.
Mulai dari respons personel yang dianggap berlebihan menanggapi lukisan dinding (mural) mirip Presiden Jokowi, kasus pedagang yang dianiaya preman, tetapi malah menjadi tersangka, hingga viralnya pemeriksaan telepon seluler masyarakat oleh ”polisi artis” tanpa bukti permulaan.
Baca Juga:
Komjen Ahmad Dofiri Resmi Jabat Wakapolri
Kemudian, insiden ”terbantingnya” mahasiswa saat unjuk rasa, dugaan oknum kepala polsek yang melecehkan anak tersangka, hingga dihentikannya penyelidikan atas dugaan pencabulan terhadap anak-anak oleh oknum aparatur sipil negara (ASN), yang puncaknya menuai tagar #percumalaporpolisi.
Terungkapnya sejumlah perilaku oknum polisi di era keterbukaan informasi ini sesungguhnya merupakan berkah terselubung (blessing in disguise).
Memuncaknya tagar #percumalaporpolisi di linimasa Twitter dinilai merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan masyarakat sehingga ekspresi warganet tersebut harus dipandang sebagai kritik dan evaluasi yang konstruktif.
Sekalipun ada oknumnya yang tidak disukai, institusi Polri tetaplah dirindukan dan dibutuhkan masyarakat.
Menilik delapan poin makalah yang disajikan Listyo Sigit Prabowo ketika menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon tunggal kepala Polri dengan judul ”Transformasi Menuju Polri yang Presisi”, sebagai akronim dari prediktif, responsibilitas, dan transparasi berkeadilan, seolah memberi secercah harapan agar Polri semakin maksimal dalam melindungi dan mengayomi masyarakat.
Ketegasan yang ditunjukkan Kepala Polri belakangan ini untuk membenahi Korps Bhayangkara, termasuk mencopot personelnya, layak didukung, baik oleh internal Polri maupun eksternal Polri, termasuk pemerintah, DPR, dan masyarakat.
Wajah Utama Polri
Sebagai satu-satunya institusi penegak hukum yang juga menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU Kepolisian), institusi Polri perlu senantiasa dijaga marwah, citra, dan profesionalismenya.
Dari semua tugas konstitusionalnya sebagai ”alat negara” yang diamanatkan Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945, fungsi penegakan hukum sesungguhnya merupakan wajah utama dari Polri.
Seorang aktivis pernah mengemukakan adanya hipotesis bahwa kinerja Polri sebagai penegak hukum sering kali bergantung pada apakah suatu perkara mendapat perhatian masyarakat, mendapat atensi dari pimpinan, dan adanya faktor nonyuridis berupa intervensi uang dari pihak-pihak yang beperkara.
Meski Polri saat ini tidak di bawah Kementerian Dalam Negeri, dan tanggung jawab penegakan hukum juga dipikul bersama-sama oleh kekuasaan kehakiman, oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kualitas penegakan hukum yang diemban Polri sebagai ”gerbang” dari sistem peradilan pidana terpadu sangat berpengaruh terhadap citra pemerintahan saat ini.
Dengan demikian, hal itu perlu mendapat perhatian khusus dan porsi evaluasi yang lebih besar guna mencegah terjadinya fenomena tidak dihormatinya hukum (lawlessness).
Untuk itu, ada beberapa pemikiran yang sekiranya dapat menjadi sumbangsih untuk mereformasi wajah utama Polri.
Pertama, perlu ditingkatkan profesionalisme penyelidik dan penyidik Polri.
Sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kekuasaan yang besar untuk menetapkan status seseorang menjadi tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, upaya paksa, dan penghentian penyidikan, penyelidik dan penyidik Polri perlu dibekali pemahaman hukum dan HAM yang komprehensif.
Dengan demikian, setiap laporan dan aduan yang diajukan masyarakat dapat diselesaikan dengan profesional, termasuk untuk menerapkan keadilan restoratif dan mediasi penal untuk perkara tertentu yang tidak menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Usulan yang pertama ini tentunya perlu disertai dengan peningkatan kesejahteraan dan insentif bagi penyelidik dan penyidik Polri.
Sebab, menurut hemat penulis, seorang aparat penegak hukum harus dianggap sudah ”selesai” dengan dirinya sendiri.
Jangan sampai dengan kewenangan yang amat besar, penyelidik dan penyidik Polri dibiarkan dalam keadaan gaji dan tunjangan pas-pasan, padahal godaan terhadap integritas personel untuk memperoleh ”pendapatan” dari kasus yang ditangani sangatlah besar.
Kedua, perlunya peningkatan digitalisasi dan transparansi penyidikan. Meskipun secara hukum penyelidikan dan penyidikan bersifat tertutup (opsporing), ide untuk melakukan digitalisasi dan transparansi penyidikan setidak-tidaknya dapat mengurangi potensi telantarnya penanganan suatu perkara karena sewaktu-waktu dapat di-trace oleh para pihak beperkara.
Selain itu, hal ini dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan upaya paksa, misalnya penangguhan penahanan tersangka dengan jaminan uang untuk tindak pidana tertentu yang dapat dikelola untuk mencegah dijadikannya penahanan sebagai ”komoditas” oknum yang merugikan citra Polri.
Selanjutnya, yang ketiga dan tidak kalah penting adalah evaluasi porsi anggaran penyelidikan/penyidikan Polri.
Rencana peningkatan anggaran penyelidikan/penyidikan Polri dari Rp 4,52 triliun pada 2021 menjadi Rp 5,29 triliun ternyata hanya 4,77 persen dari seluruh rencana anggaran Polri di tahun 2022, yaitu Rp 111,02 triliun.
Padahal, alasan dari lemahnya penanganan kasus selama ini adalah karena anggarannya kurang, apalagi tiada seorang pun penyidik yang sebenarnya rela merogoh dari koceknya sendiri untuk urusan pekerjaan yang bersifat institusional.
Meski porsi anggaran untuk program dukungan manajemen dan profesionalisme sumber daya manusia Polri pada tahun 2022 totalnya mencapai 47,52 persen atau senilai Rp 46,95 triliun, masih terdapat ketimpangan yang sangat signifikan dengan total porsi anggaran penyelidikan/penyidikan yang hanya berjumlah Rp 5,29 triliun.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, ketimpangan anggaran ini seharusnya tidak boleh dibiarkan pemerintah dan harus dikritisi oleh DPR RI.
Tidak Percuma
Populernya tagar #percumalaporpolisi dan isu berkembangnya ”negara polisi” (a police state) yang ditandai dengan naiknya sensitivitas personel Polri dalam merespons suatu peristiwa atau kritik yang disampaikan dalam ruang kebebasan berpendapat dan berdemokrasi, serta banyaknya pejabat polisi yang mengisi jabatan publik, sesungguhnya dapat dijawab dengan sikap profesionalisme Polri dalam menegakkan hukum.
Dengan demikian, masyarakat tidak lagi merasa percuma untuk melapor ke polisi.
Reformasi atas penegakan hukum melalui penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri perlu dilakukan terus-menerus tanpa harus menunggu dilakukannya revisi atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kabarnya akan dibahas oleh DPR pada 2022.
Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Taverne, yaitu ”berikanlah aku hakim yang baik, (jaksa yang baik), (polisi yang baik), (dan advokat yang baik), maka dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik.”
Terakhir, tapi tak kalah penting, masyarakat dan pencari keadilan menaruh harapan yang besar bahwa pembenahan yang dilakukan pada masa kepemimpinan Kapolri saat ini dapat mengedepankan sistem meritokrasi, reward and punishment, serta teladan integritas dan kesederhanaan anggota Polri sebagai warisan yang ditinggalkan Kepala Polri Hoegeng.
Hal ini sesuai dengan moto Rastra Sewakottama yang artinya Polri adalah abdi utama dari nusa dan bangsa. (Albert Aries, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Krimonologi Indonesia)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Tidak Percuma Lapor Polisi”. Klik untuk baca: Tidak Percuma Lapor Polisi - Kompas.id.