WahanaNews.co | Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widodo S Pranowo mengungkapkan, anomali cuaca akibat perubahan iklim dapat jadi peringatan dini terjadinya fenomena laut pasang yang berdampak pada banjir Rob.
"Anomali di sekitar Indonesia itu bisa memberikan peringatan dini (laut pasang, red)" kata Widodo, Senin (30/5/2022).
Baca Juga:
16 Desa di Aceh Barat Terendam Banjir, Air Capai 50 Sentimeter
Ia menjelaskan, Laut Jawa memiliki karakter yang cukup unik, yakni sangat dipengaruhi angin monsun.
Mei adalah masa akhir dari peralihan angin monsun barat yang bergerak dari barat menuju ke timur menjadi angin monsun timur yang bergerak dari timur menuju ke barat.
"Kondisi embusan angin tersebut berpeluang menyeret elevasi muka laut di Laut Jawa di bagian timur yang diseret menuju ke barat," kata dia.
Baca Juga:
BPBA Lapor Dua Desa di Aceh Jaya Terendam Banjir Setinggi 1,2 Meter
Menurutnya, ketika mengamati kondisi elevasi muka laut yang murni hanya dibangkitkan gaya pasang surut akibat gaya tarik rembulan dan matahari, maka elevasi muka laut tertinggi sebenarnya terjadi pada 19 Mei 2022.
Sedangkan, ketika terjadi Rob di pesisir utara Jawa pada 23 Mei 2022, elevasi muka laut karena pasang surut justru lebih rendah.
"Yang menarik adalah ketika dilakukan analisis secara kopling, yakni dugaan adanya akumulasi atau penumpukan elevasi muka laut akibat seretan angin dan gaya pasang surut, maka elevasi paling tinggi justru terjadi sekitar tanggal 23 Mei 2022, baik di stasiun pengamatan di Semarang dan Pekalongan maupun di Rembang," jelasnya.
Gradien elevasi muka laut pada 23 Mei 2022 itu lah yang diduga memiliki peluang menciptakan debit aliran banyak dan kuat dari arah laut menuju ke darat.
Debit aliran massa air ini, ada yang overtopping atau melimpas membanjiri darat melewati bagian atas tanggul hingga menjebol tanggul.
Widodo menilai tanggul yang jebol dipengaruhi penurunan permukaan tanah. Sebab, tanah di pesisir Semarang merubakan tumpukan sedimentasi yang kemungkinan belum cukup keras.
"Fenomena pasang harus terus dipantau dengan memperhatikan dampak perubahan iklim seperti cuaca ekstrem. Mengingat, pasang surut permukaan laut bisa berpotensi bencana karena dipengaruhi angin kencang dan hujan," pungkasnya. [qnt]