Adapun wilayah yang mengalami musim kemarau lebih basah atau curah hujan lebih tinggi dari biasanya mencakup Sumatera bagian utara, sebagian kecil Kalimantan Barat, Sulawesi bagian tengah, Maluku Utara, dan Papua bagian selatan.
Dwikorita menegaskan bahwa berdasarkan pemantauan suhu muka laut pada awal Maret 2025, fenomena La NiƱa di Samudra Pasifik telah bertransisi menuju fase netral dalam El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Baca Juga:
BMKG Perkirakan Hujan Ringan Guyur Sebagian Besar Wilayah Indonesia
Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudra Hindia juga berada dalam fase netral, dan diprediksi akan bertahan demikian sepanjang musim kemarau 2025.
Dengan demikian, kondisi iklim pada tahun ini cenderung normal tanpa pengaruh dominan dari ENSO dan IOD.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menambahkan bahwa meskipun kondisi iklim global netral, beberapa wilayah masih berpotensi mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya.
Baca Juga:
Hujan Es Hantam Yogyakarta, BMKG Ungkap Penyebabnya
"Karena tidak adanya dominasi iklim global seperti El Nino, La Nina, dan IOD, maka musim kemarau 2025 diprediksi lebih normal dan tidak sekering tahun 2023 yang menyebabkan banyak kebakaran hutan. Musim kemarau tahun ini cenderung mirip dengan kondisi 2024," ujarnya.
BMKG mengimbau sektor pertanian untuk menyesuaikan jadwal tanam di wilayah yang mengalami musim kemarau lebih awal atau lebih lambat, memilih varietas tanaman tahan kekeringan, serta mengoptimalkan pengelolaan air di daerah dengan musim kemarau lebih kering dari normal.
Bagi daerah yang mengalami musim kemarau lebih basah, petani dapat memanfaatkannya dengan memperluas lahan sawah guna meningkatkan produksi.