WahanaNews.co | Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan krisis air imbas dari adanya perubahan iklim yang mengganggu siklus hidrologi semakin mendekati kenyataan.
Hal ini diungkapkannya dalam acara The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
G2C2: Perempuan Muda Hadapi Krisis Iklim
Menurutnya, krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara.
"Tidak peduli itu negara maju atau berkembang. Karenanya, isu ini harus menjadi perhatian bersama seluruh negara tanpa terkecuali," katanya, dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (22/2/2023).
Menurutnya, fenomena perubahan iklim bakal terus terjadi jika laju peningkatan emisi Gas Rumah Kaca gagal dikendalikan. Kondisi ini kemudian menyebabkan semakin cepatnya proses penguapan air permukaan.
Baca Juga:
PLN Lakukan Berbagai Inisiatif Jalankan Arahan Presiden untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Sehingga mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat berkurang di suatu lokasi belahan bumi, namun sebaliknya terjadi hujan yang berlebihan (ekstrem) di lokasi atau belahan bumi yang lain.
Ketersediaan air permukaan dan air tanah yang makin berkurang ini tentunya akan mempengaruhi ketersediaan air bersih di berbagai belahan bumi. Dwikorita mencontohkan World Meteorological Organization (WMO) pada 2022 lalu melaporkan bahwa kekeringan dan kelangkaan air telah melanda berbagai negara di dunia.
Mulai dari Eropa, Amerika Utara Barat, Amerika Selatan Barat, Mediterania, Sahel, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Australia Tenggara dan berbagai wilayah lain di planet ini. Namun, pada saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga Australia Timur.
"Tidak ada perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Keduanya sama-sama menderita akibat kekeringan dan banjir. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang sama akibat dari dari kencangnya laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan" tuturnya.
Dwikorita mengatakan akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrim lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 - 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau durasi yang semakin panjang.
"Krisis air dan berbagai kejadian ekstrem tersebut dapat berdampak terjadinya krisis pangan di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang telah diprediksi oleh WMO", sambungnya
Karenanya, Indonesia mengajak seluruh negara di dunia untuk bersama-sama memitigasi atau mengurangi peningkatan dampak serius dari perubahan iklim tersebut.
Melalui World Water Forum 2024 yang akan digelar di Bali diharapkan mampu meningkatkan komitmen dan kerjasama pengelolaan air global secara berkelanjutan. [eta]