WAHANANEWS.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengungkapkan bahwa fenomena bibit badai vorteks di Samudra Hindia telah memicu terjadinya kemarau basah di sejumlah wilayah Indonesia.
Kondisi ini ditandai dengan masih tingginya curah hujan meskipun telah memasuki periode kemarau.
Baca Juga:
BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas Ekstrem di Tanah Merah Papua
"Dinamika badai vorteks di Samudra Hindia tersebut telah efektif menunda awal musim kemarau sehingga kondisi sering hujan yang terjadi di Sumatera bagian selatan dan Jawa masih akan terus berlangsung selama dasarian kedua Mei 2025," ujar Erma, melansir Tempo, Jumat (16/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa badai vorteks ini berperan besar dalam meningkatkan pembentukan awan dan hujan di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera dan Jawa. Dalam beberapa hari terakhir, curah hujan kembali meningkat di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Saat ini, bibit badai tersebut telah berkembang menjadi badai tropis dengan nama kode 96S, yang memiliki kecepatan angin mencapai 30 km/jam.
Baca Juga:
Cuaca Panas Menggila, BMKG: Indonesia Masuki Peralihan Menuju Kemarau
Lokasinya berada di bagian selatan Samudra Hindia, tepatnya di koordinat 95° BT dan 8° LS, cukup dekat dengan pesisir barat Sumatera (Bengkulu).
"Keberadaan badai tropis ini telah berperan mengakumulasikan klaster awan konvektif dalam skala luas, hingga menjangkau pesisir selatan Pulau Jawa," kata Erma.
Selain faktor badai, suhu permukaan laut yang menghangat di Laut Jawa juga mempengaruhi pembentukan tekanan rendah.
"Pemanasan suhu permukaan di Laut Jawa sebesar 0,9 derajat Celsius mengakibatkan terbentuknya wilayah bertekanan rendah yang mengonsentrasikan kelembapan dan menggagalkan musim kemarau," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa karakteristik kemarau pun tidak terbentuk seperti biasanya.
"Karakter musim kemarau yang ditandai dengan awan-awan cirrocumulus pun tidak terbentuk karena aktivitas awan cumulus congestus yang masih intensif terbentuk setiap hari di wilayah Sumatera dan Jawa," imbuhnya.
Menurut Erma, situasi ini menyebabkan musim kemarau mengalami pergeseran ekstrem, bahkan absen di sejumlah wilayah.
"Sebagian besar daerah di Sumatera bagian selatan bahkan tidak akan mengalami kemarau sepanjang tahun ini," katanya. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi di wilayah Jabodetabek.
"Wilayah seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi juga tidak mengalami kemarau karena kriteria musim kemarau berupa minim hujan (kurang dari 50 milimeter) selama tiga dasarian berturut-turut tidak tercapai," lanjutnya.
Kendati demikian, masih ada beberapa daerah yang tetap mengalami musim kemarau secara normal.
"Masih ada beberapa wilayah yang tetap mengalami musim kemarau normal dengan ciri minim hujan sejak Juni hingga September," ungkap Erma.
Erma menegaskan kembali bahwa badai vorteks telah menjadi faktor dominan dalam perubahan pola musim.
"Hal ini menandakan konvergensi meluas masih dapat dibentuk oleh dinamika vorteks Samudra Hindia yang akan menjadi faktor utama dalam mengubah musim kemarau menjadi bersifat basah atau banyak hujan," tuturnya.
Memasuki dasarian ketiga Mei 2025, hujan diperkirakan mulai berkurang di Pulau Jawa.
Namun, fluktuasi curah hujan yang tajam masih berpotensi terjadi setiap bulan mendatang akibat pengaruh dinamika vorteks tersebut.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]