WahanaNews.co | Belakangan ini, isu fenomena Aphelion atau cuaca dingin di Indonesia jadi sorotan. Isu ini menyebabkan kekhawatiran di masyarakat karena informasinya menyebar dengan cepat.
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menjelaskan bahwa Aphelion sebenarnya adalah fenomena astronomis yang terjadi setiap tahun pada sekitar bulan Juli. Namun, kondisi cuaca dingin yang terjadi di Indonesia pada bulan Juli tidak terkait dengan fenomena Aphelion.
Baca Juga:
BMKG: Hujan Petir Mengancam, Sebagian Besar Indonesia Siap-siap Basah!
"Selama Aphelion, posisi matahari memang berada pada titik terjauh dari bumi. Namun, kondisi ini tidak memiliki pengaruh signifikan pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan bumi," jelas Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat BMKG pada Kamis (6/7/2023).
Menurut BMKG, suhu udara yang dingin sebenarnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi pada puncak musim kemarau (Juli - September). Saat ini, wilayah Pulau Jawa hingga NTT berada dalam musim kemarau. Selama periode ini, terjadi pergerakan angin dari arah timur-tenggara yang berasal dari Benua Australia.
Pada bulan Juli, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia.
Baca Juga:
Siklon Tropis Yinxing Terpantau Dekati Indonesia, Ini Wilayah yang Terancam Cuaca Ekstrem
Monsoon ini melewati perairan Samudra Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.
"Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer," ungkap BMKG
Tak hanya itu, kata BMKG, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari.
"Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang," tandas BMKG. [eta]