WAHANANEWS.CO, Jakarta - Google mengumumkan akuisisi perusahaan keamanan siber Wiz senilai US$32 miliar pada Selasa (18/3). Akuisisi ini akan menjadi rekor terbesar bagi raksasa teknologi tersebut.
Akuisisi Wiz yang dilakukan secara tunai merupakan pertaruhan besar Google terhadap keamanan cloud dan keamanan siber di tengah pertumbuhan eksplosif teknologi kecerdasan buatan (AI).
Baca Juga:
KPK Tahan Tiga Pejabat ASDP, Dugaan Korupsi Akuisisi Capai Rp893 Miliar
Akuisisi Wiz dengan disebut melampaui pengambilalihan terbesar Google sebelumnya, yakni kesepakatan yang gagal pada 2012 untuk membeli Motorola Mobility senilai US$12,5 miliar.
Wiz adalah perusahaan perangkat lunak keamanan siber untuk komputasi awan. Pada musim panas lalu, perusahaan ini melakukan pembicaraan untuk menjual dirinya ke Google dengan harga sekitar US$23 miliar.
Namun, kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan dan Wiz mengatakan bahwa mereka akan fokus pada penawaran saham perdana.
Baca Juga:
Proses Penilaian Akusisi Jembatan Nusantara oleh ASDP Ditelusuri KPK
Wiz yang berbasis di New York telah menikmati pertumbuhan eksplosif sejak diluncurkan pada lima tahun yang lalu. Perusahaan ini didirikan oleh Assaf Rappaport, Ami Luttwak, Yinon Costica, dan Roy Reznik, yang bertemu beberapa tahun yang lalu saat mereka direkrut ke dalam Unit 8200, divisi intelijen siber Pasukan Pertahanan Israel.
"Wiz telah mencapai banyak hal dalam waktu yang relatif singkat, tetapi keamanan siber bergerak dengan kecepatan tinggi dan kami juga harus melakukannya. Waktunya adalah sekarang," kata Rappaport dalam sebuah posting blog Wiz.
Menurut data Dealogic, akuisisi Wiz senilai US$32 miliar tercatat sebagai pengambilalihan terbesar ketujuh dari perusahaan swasta AS.
Dikutip dari CNN, beberapa pihak di Wall Street berharap kesepakatan Google-Wiz akan menjadi awal dari pemulihan dalam pembuatan kesepakatan, yang telah mengering dalam beberapa bulan terakhir di tengah gejolak di pasar keuangan dan melemahnya kepercayaan diri para CEO.
Diskusi dan kesepakatan penjualan kembali terjadi setelah kepergian regulator antimonopoli era Biden yang mengambil pendekatan yang sangat keras terhadap merger besar. Lina Khan, mantan ketua Komisi Perdagangan Federal, bergerak untuk memblokir transaksi yang tak terhitung jumlahnya dengan alasan antimonopoli.
"Dengan kepergian Lina Khan di FTC... mesin M&A (merger and acquisition) kembali berjalan di Big Tech," ujar Dan Ives, kepala riset teknologi global di Wedbush Securities.
[Redaktur: Alpredo Gultom]