WahanaNews.co, Jakarta – Peringatan Isra Mi'raj atau Isra Mikraj jatuh pada hari ini, Kamis (8/2/2024).
Isra Mi'raj merupakan perjalanan yang melampaui kecepatan cahaya, yang secara teoritis tak mungkin digapai makhluk fisik, menuju langit ketujuh. Para pakar pun bicara soal sudut pandang sains terhadap peristiwa ini.
Baca Juga:
Kemlu RI Beberkan Proses Evakuasi WNI di Palestina Akan Melalui Sejumlah Rute
Perjalanan suci di abad 7 Masehi itu bermula saat Nabi Muhammad, ditemani Malaikat Jibril, pergi dari Masjidilharam, Mekkah, Arab Saudi, menuju Baitul Maqdis, Masjidilaqsa, Palestina.
Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad menunggang Buroq atau Buraq atau Burak, hewan anggun bersayap yang secara harfiah berarti kilat.
Mengintip Google Maps, perjalanan dari dua masjid suci itu bisa dilakukan via darat dengan mobil dengan rute tersingkat 16 jam 37 menit dengan jarak 1.471 km. Nihil opsi perjalanan udara.
Baca Juga:
AS Bakal kirim Beberapa Kapal Perang dan Pesawat Tempur di Dekat Wilayah Israel
Dari Al Aqsa, Nabi Muhammad naik dari Bumi langsung ke Sidratulmuntaha di langit ke tujuh untuk menerima perintah salat lima waktu. Dalam perjalanan itu, Nabi juga bertemu dengan para pendahulunya, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Ibrahim.
Selesai misi, Nabi Muhammad kembali ke umatnya di Arab Saudi. Semua rangkaian perjalanan itu hanya berlangsung dalam semalam!
Teori Einstein
Melansir dari CNN Indonesia, Minggu (11/2/2024) perjalanan ini masih menjadi pertanyaan dalam konteks fisika. Sains sejauh ini masih mengacu pada cahaya sebagai entitas dengan kecepatan tertinggi, yakni 299.792,458 km per detik (sering dibulatkan jadi 300 ribu km per detik atau 3x10 pangkat 8 meter per detik).
Cahaya terdiri dari foton yang tak bermassa yang membuatnya tak butuh energi untuk melaju. Tak ada materi yang riil, di luar teori-teori, yang bisa melampaui kecepatannya.
Fisikawan Albert Einstein, lewat teori relativitas umum dan khusus, menyebut makin mendekati kecepatan cahaya, materi akan membutuhkan energi teramat besar dengan waktu yang makin melambat.
Bagaimana Rasulullah SAW, Jibril, dan Buroq melampauinya?
Guru Besar Teori Fisika Institut Tekonologi Surabaya (ITS) Agus Purwanto, melansir situs Muhammadiyah, mengatakan peristiwa Isra Mi'raj tidak bisa dijelaskan dari sisi Teori Relativitas Khusus Einstein.
"Cahaya ini diketahui oleh ilmuwan dan diidentifikasi bahwa kecepatan cahaya itu 300.000 km per detik. Sehingga jika cahaya ini melingkar mengelilingi Bumi, maka satu detik ini bisa mengelilingi Bumi sekitar 6 sampai 7 kali," tuturnya.
Dua postulat utama teori ini adalah bahwa, pertama, kecepatan cahaya di ruang hampa bergerak ke semua arah sama besarnya untuk semua pengamat, tidak bergantung kepada gerakan sumber cahaya atau pengamat itu.
Kedua, semua Hukum Fisika bisa dinyatakan dengan bentuk persamaan yang bentuknya sama pada semua kerangka acuan inersia atau kelembaman (kondisi objek menolak perubahan terhadap kondisi geraknya).
Agus menjelaskan, jika memakai Teori Relativitas Khusus, Rasulullah Muhammad SAW belum keluar dari sistem Tata Surya.
"Kita asumsikan kejadian mulai ba'da (selepas) salat Isya atau jam 20.00 sampai jam 4.00 pagi menjelang Subuh. Jadi membutuhkan waktu 8 jam. Karena perjalanannya bolak-balik, maka antara pulang pergi memerlukan waktu yang sama 4 jam," katanya.
Lantaran menggunakan Buraq, Agus menilai Rasulullah melaju dengan kecepatan cahaya. Alhasil, dalam satu jam, Agus menyebut Rasulullah bisa menempuh jarak sampai 4.320.000.000 km.
Jarak tersebut lebih pendek daripada jarak Neptunus yang merupakan planet terluar dengan Bumi.
"Neptunus itu diketahui jaraknya 4.335.000.000 km. jadi ini masih lebih besar dari jarak yang ditempuh oleh cahaya selama 4 jam, artinya Baginda Rasulullah dalam waktu 4 jam belum sampai di Neptunus. Ternyata belum sampai keluar dari Tata Surya kita," urai dia.
Agus pun menyebut Isra Mi'raj bisa menggunakan Teori Relativitas Umum.
Teori yang dicetuskan Einstein 10 tahun setelah Teori Relativitas Khusus itu intinya menyebut objek yang dalam kondisi inersia bisa saling mempercepat terhadap acuan yang lain. Gravitasi jadi fokusnya karena bisa melengkungkan ruang-waktu.
Ia menilai teori tersebut mengisyaratkan "adanya ruang dan dimensi tinggi, imaterial atau gaib, di sekitar manusia."
Fisik Keluar Dimensi Ruang Waktu
Sementara, Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antaraksa (ORPA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan Isra Mi'raj merupakan perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu.
"Saya memandang [Isra Mi'raj] perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu," ujarnya dalam webinar di kanal Youtube Alhidayah Badan Geologi.
Maknanya, Nabi Muhammad keluar dari masa kini, masa lalu, dan masa depan yang mengikat makhluk. "Isra Mi'raj itu keluar dari itu," ucap dia.
Kenapa Jatuh ke Bawah?
Thomas, yang kerap jadi pakar dalam pengamatan hilal penentu Bulan Ramadhan dan Lebaran di Kementerian Agama ini, memperkuatnya dengan pertemuan Nabi Muhammad dengan para nabi lain dalam perjalanan itu.
"Itu menembus ke masa lalu. Kemudian diperlihatkan juga surga dan neraka, itu masa depan, ketika kiamat sudah terjadi," tuturnya.
Thomas mengatakan pada dasarnya manusia hidup dan dibatasi dimensi ruang-waktu. Ketika mengendarai Buroq, Rasulullah sedang keluar dari dimensi tersebut.
"Dan dengan Buroq itu [Rasulullah SAW] keluar dimensi waktu ruang. Pertemuan di langit itu menggambarkan Rasul tidak lagi terikat pada waktu," kata Thomas.
"Jadi tidak perlu lagi bertanya, dan tidak relevan lagi bertanya di mana itu [pertemuan di langit yang ketujuh]. Sudah keluar dari dimensi ruang waktu," imbuhnya.
Ia pun menyebut langit ke tujuh yang jadi lokasi Sidratul Muntaha tempat menerima perintah salat lima waktu merupakan "lambang batas yang tidak seorang manusia atau makhluk lain bisa mengetahui lebih jauh."
Meski demikian, Thomas mengatakan Isra Mi'raj bukanlah perjalanan ruh atau bahkan mimpi Nabi Muhammad. Menurutnya, ini adalah perjalanan fisik langsung.
Buktinya, saat berada di Al-Aqsa Nabi menjalankan salat dan juga memilih meminum susu saat ditawari antara arak atau susu. Selain itu, ketika perjalanan pulang Nabi secara langsung melihat rombongan kafilah menuju Mekkah.
"Ini fisik. Salat itu fisik," ucapnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]