Aturan tersebut juga mensyaratkan lokasi tambang timah harus rusak agar perhitungan kerugian lingkungan dapat dilakukan.
"Saat kami melakukan verifikasi lapangan kami mengambil sampel pada lokasi yang telah dibuka yang kemudian dibuatkan berita acara pengambilan sampel oleh penyidik kemudian penyidik sendiri yang membawa sampel tersebut ke laboratorium, dan kemudian hasilnya baru di share kepada kami sebagai ahli," tutur Bambang.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
"Karena hasil analisa lab menyatakan bahwa lokasi yang telah dibuka itu rusak maka proses perhitungan bisa dilakukan," tambahnya.
Lebih lanjut, spesialis forensik api ini menyebut data terkait letak, luas, dan koordinat dari lokasi setiap perusahaan didapatkannya dari penyidik.
Berdasarkan data-data tersebut, Bambang dan tim melakukan rekonstruksi kejadian sejak 2015 hingga 2022 dengan menggunakan citra satelit.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
Citra satelit menunjukkan kondisi awal tambang pada 2015, dan kondisi tahun-tahun berikutnya hingga 2022.
"Berdasarkan citra satelit yang kami pantau setiap tahunnya, kami tahu berapa luas bukaan/galian setiap tahun, kearah mana pergerakan bukaan/galian tersebut, termasuk ketika mereka membuka tambangnya telah melewati batas IUP yang mereka miliki," terangnya.
Kemudian, Bambang juga memastikan apakah tambang yang dibuka termasuk dalam kawasan hutan atau tidak dengan menggunakan data tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.