WahanaNews.co, Jakarta – Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung (Kejagung), kerugian ekologis yang disebabkan dari kasus korupsi ata niaga timah mencapai Rp271 triliun.
Pakar lingkungan mengungkap dari mana angka kerugian negara Rp271 triliun yang terjadi di kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang menjerat crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim hingga suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
Ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo, yang digaet Kejagung sebagai ahli dalam kasus ini, menjelaskan cara proses perhitungan kerugian Rp271 triliun dalam kasus tersebut.
Dari hasil perhitungannya, ia menemukan bahwa kasus ini memberikan kerugian ekologis atau kerusakan lingkungan senilai Rp271.069.688.018.700.
"Seperti saya sampaikan pada saat paparan di Kejagung beberapa waktu lalu, bahwa nilai kerugian sebesar Rp271.069.688.018.700," ujar Bambang melansir dari CNN Indonesia, Selasa (2/4/2024).
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
Ia memerinci hal itu terdiri dari dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp157.832.395.501.025; Kerugian Ekonomi Lingkungan Rp60.276.600.800.000, dan Biaya Pemulihan Lingkungan Rp5.257.249.726.025.
Bambang, yang beberapa kali digugat korporasi sawit pembakar lahan, menjelaskan biaya kerugian ekologis dihitung merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014.
Dalam aturan tersebut, Biaya Kerugian Lingkungan atau Ekologis meliputi Biaya Menghidupkan Fungsi Tata Air; Biaya Pengaturan Tata Air; Biaya Pengendalian Erosi dan Limpasan; Biaya Pembentukan Tanah; Biaya Pendaur Ulang Unsur Hara; Biaya Fungsi Pengurai Limbah; Biaya Biodiversiti (Keanekaragaman hayati); Biaya Sumberdaya Genetik; dan Biaya Pelepasan Karbon.
Aturan tersebut juga mensyaratkan lokasi tambang timah harus rusak agar perhitungan kerugian lingkungan dapat dilakukan.
"Saat kami melakukan verifikasi lapangan kami mengambil sampel pada lokasi yang telah dibuka yang kemudian dibuatkan berita acara pengambilan sampel oleh penyidik kemudian penyidik sendiri yang membawa sampel tersebut ke laboratorium, dan kemudian hasilnya baru di share kepada kami sebagai ahli," tutur Bambang.
"Karena hasil analisa lab menyatakan bahwa lokasi yang telah dibuka itu rusak maka proses perhitungan bisa dilakukan," tambahnya.
Lebih lanjut, spesialis forensik api ini menyebut data terkait letak, luas, dan koordinat dari lokasi setiap perusahaan didapatkannya dari penyidik.
Berdasarkan data-data tersebut, Bambang dan tim melakukan rekonstruksi kejadian sejak 2015 hingga 2022 dengan menggunakan citra satelit.
Citra satelit menunjukkan kondisi awal tambang pada 2015, dan kondisi tahun-tahun berikutnya hingga 2022.
"Berdasarkan citra satelit yang kami pantau setiap tahunnya, kami tahu berapa luas bukaan/galian setiap tahun, kearah mana pergerakan bukaan/galian tersebut, termasuk ketika mereka membuka tambangnya telah melewati batas IUP yang mereka miliki," terangnya.
Kemudian, Bambang juga memastikan apakah tambang yang dibuka termasuk dalam kawasan hutan atau tidak dengan menggunakan data tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan data tersebut, ia menemukan tambang yang sudah dibuka/digali tersebut ditemuak di kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, Taman Hutan Raya, Taman Nasional, dengan total luasan 75.345,751 hektare.
Sementara, luas galian non kawasan hutan adalah 95.017,313 hektare, sehingga totalnya adalah 170.363,064 hektare.
Berdasarkan total luas galian tambang 170.363,064 hektare tersebut, maka terdapat Luas galian yang memiliki IUP yaitu 88.900,462 hektare dan Luas galian Non IUP seluas 81.462,602 hektare.
Berikut rincian kerugian akibat tambang timah berdasarkan lokasinya:
1. Di dalam kawasan hutan
- Kerugian lingkungan: Rp 157,83 triliun
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp60,27 triliun
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp5,26 triliun
2. Di luar kawasan hutan
- Kerugian lingkungan: Rp 25,87 triliun
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp15,2 triliun
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp6,63 triliun.
[Redaktur: Alpredo Gultom]