Meskipun terjadi penurunan penggunaan CFC, para peneliti Selandia Baru yang terlibat dalam studi terbaru di jurnal Nature Communications menyatakan bahwa belum terjadi penurunan signifikan pada luas lubang ozon Antartika.
“Enam dari sembilan tahun terakhir memiliki jumlah ozon yang sangat rendah dan lubang ozon yang sangat besar," kata salah satu penulis studi tersebut, Annika Seppala dari Otago University, Selandia Baru.
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
“Apa yang mungkin terjadi adalah sesuatu yang lain sedang terjadi di atmosfer, mungkin karena perubahan iklim. Dan hal tersebut menutupi beberapa upaya pemulihan," kata Seppala seperti dilansir Science Alert, Jumat (24/11/2023).
Lubang ozon di atas Antartika biasanya terbuka pada bulan September dan berlangsung hingga November, saat musim semi di Belahan Bumi Selatan.
Para peneliti mengatakan bahwa lubang ozon tersebut telah terbuka di akhir bulan September, yang mengindikasikan adanya pemulihan yang mungkin disebabkan oleh pengurangan CFC.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Namun pada bulan Oktober, ketika lubang tersebut sering kali menjadi yang terbesar, tingkat ozon di lapisan stratosfer tengah menyusut 26 persen dari tahun 2004 hingga 2022, kata penelitian tersebut, mengutip data satelit.
Hannah Kessenich, penulis utama studi ini, menekankan bahwa Protokol Montreal dan penurunan penggunaan CFC masih berjalan sesuai rencana.
Dia menambahkan, "Namun secara keseluruhan, temuan kami menunjukkan bahwa penyebab lubang ozon yang baru-baru ini membesar mungkin tidak hanya disebabkan oleh CFC."