WahanaNews.co | Pakar Studi Islam dan Gender UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila, menilai, penolakan beberapa pihak terhadap Permendikbud Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus, yang kerap disebut Permen PPKS, bersifat politis dan populis.
Profesor Nina mengatakan, argumen yang disampaikan oleh kelompok yang menolak hanya memantik emosi publik.
Baca Juga:
Kebijakan Toilet Berbayar di MAN 1 Pamekasan Masuk Pungli, Bisa Dipidana
Selain itu, muatan politis itu terlihat dari label atau stigma yang dilekatkan pada Permendikbud 30.
Kelompok penolak, ujarnya, melabeli frasa “tanpa persetujuan korban” pada beberapa pasal sebagai aturan yang melegalisasi perzinahan dan hubungan seksual di luar pernikahan.
“Saya memikirkan kenapa diinterpretasi jauh ke misalnya kalau disetujui korban dibolehkan itu (dianggap) membolehkan seks bebas. Itu legalisasi zina,” kata Nina Nurmila, dalam diskusi virtual yang diadakan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Sabtu (13/11/2021) kemarin.
Baca Juga:
Seorang Guru SMPN 1 Sukodadi, Gunduli Belasan Siswi Karena Tak Pakai Dalaman Jilbab
Ia menilai, stigma legalisasi zina itu sesat pikir dan tidak tepat.
Menurut dia, pemikiran semacam itu muncul karena kelompok penolak kurang memahami isi dan tujuan Permendikbud 30.
“Saya kira perlu pihak penolak membaca secara utuh, memiliki pengetahuan yang jernih (mengenai) pentingnya dimasukkan frasa tanpa persetujuan korban,” ujarnya.
Frasa “tanpa persetujuan korban” ada dalam Pasal 5 ayat (2) poin B, F, G, H, I, M, Permendikbud 30 yang menjelaskan perbuatan-perbuatan dalam kategori kekerasan seksual.
Dalam poin l, misalnya, peraturan itu menyebut kekerasan seksual mencakup tindakan “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, mencium, dan/atau menggosokkan tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban”.
Menurut kelompok yang menolak, frasa itu bermasalah karena menunjukkan Peraturan Mendikbudristek mengizinkan adanya perbuatan tersebut dilakukan di lingkungan kampus.
Nina mendorong berbagai pihak untuk cermat memahami frasa itu.
“Mereka yang mendukung kebijakan ini perlu memberi kontranarasi agar masyarakat bisa dicerdaskan, tidak digiring oleh populisme yang logikanya tidak bisa diterima,” ujarnya.
Kontranarasi yang dapat disampaikan, antara lain memberi pemahaman bahwa Permendikbud 30 merupakan aturan untuk melindungi korban kekerasan seksual dan menghukum pelaku.
Kontranarasi lainnya perbuatan asusila dan zina telah diatur dalam produk hukum yang lain dan tidak harus diatur kembali dalam Permendikbud 30.
“Menolak kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi (Permendikbud 30) sama dengan mendukung terjadinya kekerasan seksual,” tutur Nina.
Perguruan tinggi, lanjutnya, harus mengubah tradisi menyembunyikan kasus kekerasan seksual demi nama baik kampus menjadi merespons berbagai laporan, melindungi korban, dan menindak pelaku. [dhn]