WahanaNews.co | Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendukung implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Dari kacamata HAM, aturan yang dibuat Mendikbudristek Nadiem Makarim itu selaras dengan penghormatan dan perlindungan HAM.
Baca Juga:
Komnas HAM Apresiasi Pemindahan Terpidana Mati Mary Jane ke Filipina
Karena itu, Komnas HAM berada di garda depan membela terbitnya aturan tersebut.
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menyatakan bahwa setelah ditelisik, aturan yang dibuat Kemendikbudristek itu berfokus pada pencegahan dan pelarangan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Menurut dia, itu memang dibutuhkan untuk melindungi setiap civitas academica dari ancaman kekerasan seksual.
Baca Juga:
Kasus Vina-Eki Cirebon: Kesimpulan Komnas HAM Simpulkan 3 Pelanggaran Polisi
”Permendikbudristek itu keluar tepat waktu,” imbuhnya, Minggu (14/11/2021) kemarin.
Menurut Amiruddin, Kemendikbudristek tepat waktu menerbitkan aturan tersebut lantaran belum lama muncul kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Salah satunya, dugaan pelecehan seksual di Universitas Riau.
Ancaman serta potensi kekerasan seksual, lanjut dia, patut mendapat perhatian serius.
Permendikbudristek yang kini menuai pro-kontra dinilai sebagai bentuk atensi pemerintah.
Dari sudut pandang HAM, aturan itu juga mewadahi perspektif gender yang kuat.
Amiruddin menyebut hal itu bersesuaian dengan pasal 29 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
”Yaitu, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya,” tegas dia.
Salah satu hak yang dimaksud dalam aturan tersebut, lanjut Amiruddin, adalah hak atas rasa aman.
Sebagai institusi pendidikan, Komnas HAM menilai seluruh perguruan tinggi punya kewajiban melindungi setiap civitas academica, tanpa kecuali.
Terpisah, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyatakan bahwa dukungan yang diberikan instansinya tidak lantas membuat Kemendikbudristek bisa mendiamkan polemik yang terjadi.
Menurut Damanik, tetap harus ada penyelesaian atas pro dan kontra di masyarakat.
Utamanya berkaitan dengan frasa “tanpa persetujuan korban” yang tertulis dalam permendikbudristek tentang PPKS.
Menurut dia, perlu dibuat aturan terpisah dari peraturan menteri yang sudah ada. [dhn]