WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat sekali lagi menunjukkan kapasitas adaptif militernya dengan mengintegrasikan rudal SM-6 ke jet tempur F/A-18E/F Super Hornet berbasis kapal induk, menghasilkan varian baru yang dinamakan AIM-174B.
Melansir National Interest, rudal ini tidak hanya memperluas jangkauan tempur udara-ke-udara Super Hornet hingga sekitar 300 mil -- tiga kali lipat dari jangkauan AIM-120D AMRAAM -- tetapi juga mencerminkan transformasi strategis Angkatan Laut AS dalam menanggapi lingkungan geopolitik yang semakin kompetitif.
Baca Juga:
MD-19, Drone Hipersonik China yang Bisa Bikin Pentagon Ketar-ketir
“Meluncurkan SM-6 dari udara? Itu mantap! Semakin banyak jumlahnya semakin baik,” kata seorang perwira senior Angkatan Laut dengan nada optimistis, menegaskan antusiasme militer AS terhadap inovasi ini.
Kehadiran AIM-174B memperkuat kemampuan tempur AS dalam dua domain sekaligus: udara dan laut.
Rudal ini menawarkan jangkauan yang cukup untuk menghadapi ancaman dari jarak jauh, memungkinkan Super Hornet menyerang sebelum lawan sempat bereaksi.
Baca Juga:
Akhiri Era Kontroversial di Pemerintahan Trump, Elon Musk Umumkan Mundur Bertahap dari DOGE
Keunggulan ini sangat penting dalam konteks Indo-Pasifik, di mana jarak tempur menjadi faktor penentu dominasi regional.
AIM-174B diperkirakan akan diuji selama latihan multinasional Rim of the Pacific (RIMPAC) di Samudra Pasifik, latihan yang dikenal luas sebagai ajang demonstrasi kapabilitas militer.
Penempatan Super Hornet dengan rudal ini di atas USS Carl Vinson, kapal induk bertenaga nuklir yang tergabung dalam Carrier Air Wing 2, memberi sinyal kuat kepada lawan potensial.
“Kami akan memperlihatkan kekuatan kami, tapi tidak semuanya,” ujar seorang juru bicara Angkatan Laut AS, mengindikasikan pentingnya kontrol informasi dalam era persaingan strategis.
Dalam perspektif geopolitik, integrasi AIM-174B mencerminkan kebangkitan kembali doktrin peperangan permukaan AS, yang sempat diabaikan pasca-Perang Dingin.
Ketika Tiongkok mempercepat modernisasi angkatan lautnya dan memprioritaskan rudal anti-kapal dengan jangkauan panjang, AS justru sempat terjebak dalam euforia kemenangan atas Uni Soviet.
Armada PLA Navy (Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok) pun melaju dengan kekuatan proyeksi yang kian agresif.
Namun, sejak 2016, AS mulai mengejar ketertinggalan. Uji coba rudal SM-6 yang dimodifikasi untuk menghancurkan kapal permukaan menandai titik balik.
Dalam uji coba tersebut, fregat pensiunan USS Reuben James berhasil ditenggelamkan oleh tembakan SM-6, membuktikan keampuhannya di luar fungsi aslinya sebagai rudal permukaan-ke-udara.
Kini, dengan hadirnya AIM-174B, Angkatan Laut AS memegang kembali kartu strategis dalam permainan dominasi maritim.
Rudal ini juga dapat diintegrasikan ke dalam sistem senjata Angkatan Darat seperti Typhon, sebagai bagian dari konsep operasi multidomain, memungkinkan peluncuran rudal dari pulau-pulau strategis di Pasifik guna mengunci akses laut dan udara dari pasukan musuh.
Meski begitu, kendala terbesar dalam skala besar produksi AIM-174B bukan berasal dari strategi, melainkan dari realitas anggaran dan kapasitas industri.
Dengan harga sekitar $4,3 juta per unit (FY2021), pengadaan dalam jumlah besar membutuhkan komitmen politik dan industri pertahanan yang kuat.
“Kontribusi terbesar sekutu adalah memperluas kapasitas industri pertahanan mereka,” ungkap seorang pejabat Pentagon dalam pertemuan NATO, merujuk pada kebutuhan sistemik dalam menghadapi persaingan jangka panjang dengan kekuatan besar seperti Tiongkok, Rusia, dan Iran.
Pada akhirnya, kemampuan untuk mendemonstrasikan kekuatan melalui inovasi teknologi, sambil menjaga kerahasiaan strategis, adalah senjata tersendiri dalam persaingan antar negara besar.
Dunia mungkin tidak akan pernah kembali ke status quo pasca-Perang Dingin, namun dengan AIM-174B, Angkatan Laut AS mengirimkan pesan jelas: mereka siap untuk babak baru dalam sejarah konflik maritim global.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]