Sisi Kelam AI Diungkap Polisi Inggiris, Untuk Penipuan hingga Pelecehan Seksual
WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kepolisian Inggris memperingatkan kecerdasan buatan (AI) semakin sering digunakan untuk berbagai kejahatan seperti penipuan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi anak.
Baca Juga:
Menteri PPPA Tegaskan Perempuan dan Anak-anak Harus Merdeka dari Kekerasan dan Eksploitasi
Alex Murray, Kepala Polisi Nasional bidang AI, mengungkapkan aksesibilitas teknologi yang semakin mudah menjadi faktor utama peningkatan penggunanya oleh pelaku kriminal.
"Kita tahu dari sejarah kepolisian bahwa penjahat itu kreatif dan akan menggunakan apa pun untuk melakukan kejahatan. Mereka sekarang menggunakan AI untuk melakukan kejahatan," kata Murray, mengutip The Guardian, Minggu (24/11) melansir CNN Indonesia.
Ia menambahkan, kejahatan ini bisa terjadi dalam skala internasional maupun di tingkat individu.
Baca Juga:
Terungkap, Open BO Anak 'Premium Palace' Dikendalikan dari Lapas
Salah satu kejahatan AI yang berkembang pesat adalah penggunaan teknologi deepfake untuk melakukan penipuan berskala besar. Murray mengungkapkan contoh kasus penipuan menggunakan video deepfake untuk menyamar sebagai eksekutif perusahaan.
Dalam kasus ini, seorang karyawan perusahaan multinasional tertipu untuk mentransfer dana sebesar HK$200 juta atau sekitar Rp409 miliar. Pelaku saat menjalankan aksinya berbicara dalam konferensi video dengan menyamar sebagai kepala keuangan perusahaan menggunakan AI.
Kasus serupa dilaporkan terjadi di berbagai negara, dengan insiden pertama yang diketahui melibatkan perusahaan energi Inggris pada 2019. Menurut Murray, meskipun jenis kejahatan ini jarang terjadi, dampaknya sangat besar dan ia telah mengetahui puluhan kasus semacam ini.
Eksploitasi anak dan pelecehan seksual
Penggunaan AI yang paling mengkhawatirkan adalah untuk menciptakan konten pelecehan anak. Teknologi generatif AI memungkinkan pelaku membuat ribuan gambar dan video pelecehan seksual anak secara sintetik, yang semuanya ilegal.
Murray menyoroti kasus Hugh Nelson (27), seorang pria dari Bolton yang dihukum 18 tahun penjara setelah menawarkan layanan pembuatan gambar pelecehan anak berbasis AI kepada jaringan pedofil daring.
Selain itu, AI juga dimanfaatkan dalam praktik "sextortion," yaitu pemerasan dengan ancaman menyebarkan gambar tidak senonoh korban. Pelaku sering memanipulasi foto yang diambil dari media sosial untuk membuat gambar telanjang menggunakan teknologi "nudify."
"Kita berbicara tentang ribuan dan ribuan dan ribuan gambar," kata Murray.
"Semua gambar, baik sintetis maupun tidak, melanggar hukum, dan orang-orang menggunakan AI generatif untuk membuat gambar anak-anak yang melakukan hal-hal yang paling mengerikan." tambahnya
Kejahatan siber dan radikalisasi
AI juga digunakan untuk kejahatan siber, seperti menyuruh AI untuk menemukan celah keamanan dalam perangkat lunak atau kode tertentu.
"Sebagian besar kejahatan AI saat ini berkisar pada gambar pelecehan anak dan penipuan, tetapi ada banyak potensi ancaman," ujar Murray.
Ancaman radikalisasi melalui AI juga menjadi perhatian, terutama setelah seorang pria yang mencoba menyerang Ratu Elizabeth II dengan crossbow pada 2021 mengaku mendapatkan dorongan dari chatbot berbasis AI.
Peninjau independen legislasi terorisme Inggris, Jonathan Hall, mengungkapkan bahwa chatbot bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda, memfasilitasi perencanaan serangan, atau bahkan menciptakan figur radikal. Hall mengilustrasikan betapa mudahnya ia membuat chatbot Osama bin Laden menggunakan platform AI komersial.
"Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana AI generatif akan dieksploitasi oleh teroris, kita memerlukan pemahaman bersama tentang AI generatif dan keyakinan untuk bertindak, dan tentu saja bukan reaksi yang mengatakan: 'Ini terlalu sulit.'," Hall memperingatkan dalam pidatonya di Lancaster House bulan lalu.
Murray menekankan bahwa pesatnya perkembangan AI generatif, baik dalam pembuatan teks maupun gambar, memperbesar risiko penyalahgunaan teknologi ini di masa depan.
"Orang-orang yang menggunakan perangkat lunak semacam ini saat ini masih tergolong orang-orang yang terbatas, tetapi akan menjadi sangat mudah digunakan. Kemudahan masuk, realisme, dan ketersediaan adalah tiga vektor yang mungkin akan meningkat," tutur Murray.
Ia memperingatkan bahwa polisi harus bertindak cepat untuk menghadapi ancaman ini. "Antara sekarang hingga 2029, kita akan melihat peningkatan signifikan dalam berbagai jenis kejahatan ini, dan kami ingin mencegahnya," tambahnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]