"Sebagian besar kejahatan AI saat ini berkisar pada gambar pelecehan anak dan penipuan, tetapi ada banyak potensi ancaman," ujar Murray.
Ancaman radikalisasi melalui AI juga menjadi perhatian, terutama setelah seorang pria yang mencoba menyerang Ratu Elizabeth II dengan crossbow pada 2021 mengaku mendapatkan dorongan dari chatbot berbasis AI.
Baca Juga:
Menteri PPPA Tegaskan Perempuan dan Anak-anak Harus Merdeka dari Kekerasan dan Eksploitasi
Peninjau independen legislasi terorisme Inggris, Jonathan Hall, mengungkapkan bahwa chatbot bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda, memfasilitasi perencanaan serangan, atau bahkan menciptakan figur radikal. Hall mengilustrasikan betapa mudahnya ia membuat chatbot Osama bin Laden menggunakan platform AI komersial.
"Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana AI generatif akan dieksploitasi oleh teroris, kita memerlukan pemahaman bersama tentang AI generatif dan keyakinan untuk bertindak, dan tentu saja bukan reaksi yang mengatakan: 'Ini terlalu sulit.'," Hall memperingatkan dalam pidatonya di Lancaster House bulan lalu.
Murray menekankan bahwa pesatnya perkembangan AI generatif, baik dalam pembuatan teks maupun gambar, memperbesar risiko penyalahgunaan teknologi ini di masa depan.
Baca Juga:
Terungkap, Open BO Anak 'Premium Palace' Dikendalikan dari Lapas
"Orang-orang yang menggunakan perangkat lunak semacam ini saat ini masih tergolong orang-orang yang terbatas, tetapi akan menjadi sangat mudah digunakan. Kemudahan masuk, realisme, dan ketersediaan adalah tiga vektor yang mungkin akan meningkat," tutur Murray.
Ia memperingatkan bahwa polisi harus bertindak cepat untuk menghadapi ancaman ini. "Antara sekarang hingga 2029, kita akan melihat peningkatan signifikan dalam berbagai jenis kejahatan ini, dan kami ingin mencegahnya," tambahnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]