WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyatakan bahwa kliennya menghadapi serangkaian pertanyaan dari penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait sejumlah surat izin impor gula saat pemeriksaan yang berlangsung selama 10 jam.
"Klien kami diperlihatkan surat-surat yang dibuat maupun yang diterimanya, termasuk surat yang ditujukan kepada BUMN," ujar Ari di Gedung Kejaksaan Agung, mengutip Antara, Minggu (3/11/2024).
Baca Juga:
Penyimpangan Impor Gula dan Beras 2015-2017, Pengamat: Semua Menteri Perdagangan Perlu Diperiksa
Diketahui, Tom Lembong, yang pernah menjabat Menteri Perdagangan pada periode 2015–2016, kini berstatus tersangka dalam dugaan korupsi terkait impor gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016.
Tom diduga memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diproses menjadi gula kristal putih, meskipun dalam rapat koordinasi lintas kementerian pada 12 Mei 2015 disepakati bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tak membutuhkan impor.
Terkait surat-surat yang menjadi dasar izin impor ini, menurut Ari, Tom Lembong mengatakan bahwa semua proses administrasi di Kementerian Perdagangan telah dilalui sesuai aturan, dan surat yang diterimanya merupakan tindak lanjut dari kebijakan menteri sebelumnya.
Baca Juga:
Ari Yusuf Amir Eks Tim Hukum Anies-Imin Jadi Pengacara Tom Lembong
"Surat-surat yang diterima klien kami adalah lanjutan dari kebijakan menteri sebelumnya," jelasnya.
Ari menambahkan bahwa Tom Lembong terus berkonsultasi dengan staf-staf yang mengetahui proses administratif tersebut untuk memastikan kebijakan yang diambilnya sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Pemeriksaan ini, yang berlangsung dari pukul 09.58 WIB hingga 20.27 WIB, merupakan yang pertama bagi Tom setelah dinyatakan tersangka. Sebelumnya, ia telah diperiksa sebagai saksi.
Selain Tom, Kejagung juga menetapkan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai tersangka.
Dalam rapat koordinasi pada 28 Desember 2015, yang dihadiri Kemenko Perekonomian, disimpulkan bahwa tahun 2016 Indonesia kekurangan gula kristal putih sebesar 200.000 ton, untuk menjaga stabilitas harga dan stok nasional.
Pada November–Desember 2015, CS menginstruksikan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta guna membahas kebutuhan tersebut.
Pertemuan itu untuk membahas kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut.
Kejagung mengatakan bahwa seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.
Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.
Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI. Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.
Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.
Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]