WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di era digital, kejahatan tidak lagi hanya dilakukan oleh individu bermasker di gang gelap, melainkan oleh sistem yang "terlihat" rapi di balik layar kaca gawai kita.
Bayangkan sebuah aplikasi fintech yang secara sistematis memanipulasi bunga di luar perjanjian, atau sebuah marketplace yang algoritmanya sengaja membiarkan penjualan barang ilegal demi komisi.
Baca Juga:
Praktisi Hukum Asal Nias Sentil Fadli Zon soal Pemerkosaan 1998: Itu Bentuk Sesat Berpikir
Pertanyaan hukum klasiknya adalah: Siapa yang salah? Apakah hanya direktur utamanya? Atau si pembuat koding?
Selama ini, hukum pidana kita sering kesulitan menjerat "tubuh" perusahaannya. Namun, dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), paradigma ini berubah total. Kita memasuki era di mana korporasi tidak bisa lagi bersembunyi di balik tameng "badan hukum mati" atau artificial legal person.
Pergeseran Paradigma: Korporasi adalah "Subjek" yang Bisa Jahat
Baca Juga:
RUU KUHAP: Praktisi Hukum Petrus Pattyona Sampaikan 3 Rekomendasi
Dalam teori hukum pidana klasik, berlaku adagium universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana). Dulu, yang dipenjara hanya manusianya (pengurus).
Namun, KUHP 2023 secara tegas mengadopsi konsep modern bahwa korporasi adalah Subjek Tindak Pidana (Pasal 45). Ini adalah revolusi hukum.
Dalam konteks transaksi elektronik, ini berarti jika sebuah sistem elektronik perusahaan dirancang untuk melakukan fraud (penipuan) atau pencurian data, perusahaan itu sendiri bukan cuma staf IT atau manajernya yang duduk di kursi terdakwa.
Menjerat "Niat Jahat" (Mens Rea) dalam Transaksi Elektronik
Tantangan terbesar dalam memidana korporasi adalah membuktikan "niat jahat". Korporasi tidak punya otak biologis, lalu bagaimana ia bisa berniat jahat?
KUHP 2023 dan doktrin hukum modern menjawab ini dengan tiga pendekatan yang sangat relevan untuk bisnis digital:
1.Teori Identifikasi (Directing Mind):
Jika seorang eksekutif senior (yang memiliki wewenang pengendali) memerintahkan manipulasi data transaksi elektronik, tindakan eksekutif tersebut dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.
2.Teori Fungsional (Atribusi):
Ini yang paling berbahaya bagi bisnis digital. Jika seorang karyawan level bawah melakukan kejahatan siber (misalnya: data scraping ilegal), dan tindakan itu masuk dalam lingkup kerja korporasi serta menguntungkan korporasi, maka korporasi dianggap bertanggung jawab.
Contoh: Sebuah startup e-commerce membiarkan stafnya menjual data nasabah. Manajemen diam saja karena itu menambah revenue. Di sini, korporasi dapat dipidana.
3.Budaya Korporasi (Corporate Culture):
Jika sistem keamanan siber perusahaan sangat lemah atau SOP perusahaan secara implisit mendorong karyawan untuk mengambil jalan pintas yang melanggar hukum (misal: mematikan verifikasi KYC demi target user), maka "budaya" tersebut dianggap sebagai mens rea korporasi.
Kapan Korporasi Digital Dinyatakan Bersalah?
Berdasarkan KUHP 2023 Pasal 46-48, sebuah korporasi dalam transaksi elektronik dapat dipidana jika memenuhi unsur:
Tindak pidana dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain (mitra/vendor).
Tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup usaha korporasi.
Penting: Korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut.
Korporasi tidak melakukan langkah pencegahan (failure to prevent) atau membiarkan terjadinya tindak pidana.
Artinya, dalam transaksi elektronik, ketidaktahuan direksi bukan lagi alasan pemaaf jika sistem perusahaan secara otomatis menghasilkan keuntungan dari tindakan ilegal tersebut.
Sanksi yang Menanti: Bukan Penjara, Tapi "Mematikan"
Tentu saja, kita tidak bisa memenjarakan sebuah Perseroan Terbatas (PT). KUHP 2023 menyiapkan sanksi yang jauh lebih menakutkan bagi dunia usaha (Pasal 118-124):
1.Pidana Denda Kategori Maksimum:
Denda untuk korporasi minimal Kategori IV (Rp200 juta) hingga jauh di atas itu, tergantung dampak kerugiannya. Jika korporasi tidak mampu bayar, asetnya akan disita dan dilelang.
Pidana Tambahan yang Melumpuhkan:
Pembayaran ganti rugi (restitusi) kepada korban transaksi elektronik.
Pencabutan Izin Usaha: Ini adalah "hukuman mati" bagi korporasi.
Pembubaran Korporasi: Negara bisa membubarkan perusahaan yang terbukti menjadi sarana kejahatan.
Pengambilalihan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
Implikasi Bagi Pelaku Bisnis & Praktisi Hukum
Hadirnya KUHP 2023 menuntut Compliance (kepatuhan) tingkat tinggi. Dalam dunia transaksi elektronik, dokumen hukum saja tidak cukup.
Audit Algoritma & Sistem: Perusahaan harus memastikan sistem elektroniknya tidak memiliki celah yang melanggar hukum (misal: dark patterns dalam UX yang menipu konsumen).
Kebijakan "Zero Tolerance": Harus ada bukti tertulis bahwa perusahaan melarang tindakan ilegal dan memiliki mekanisme pengawasan aktif.
Vicarious Liability Awareness: Pahami bahwa tindakan vendor pihak ketiga atau karyawan remote bisa menyeret perusahaan ke meja hijau jika perusahaan menikmati hasilnya.
Kesimpulan
KUHP 2023 membawa pesan keras: Korporasi tidak bisa lagi cuci tangan. Dalam ekosistem digital yang cepat dan borderless, hukum Indonesia telah berevolusi untuk mengejar pelaku kejahatan, baik yang berwujud manusia maupun yang berwujud entitas bisnis.
Bagi para CEO dan pemilik bisnis digital, pertahanan terbaik bukan lagi pengacara yang pandai berdalih, melainkan sistem kepatuhan (compliance system) yang kuat dan berintegritas.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]