WahanaNews.co | Bertepatan dengan momentum peringatan Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei 2023, Alumni Society of ALSA National Chapter Indonesia (ASA Indonesia) meminta Pemerintah agar mempercepat pengesahan aturan turunan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Selamat Hari Buruh 1 Mei 2023,“ ucap Sonia Ramadhani Syukur, Ketua ASA Indonesia melalui Siaran Pers yang diterima WahanaNews.co pada Senin (1/5/23).
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
ASA Indonesia menilai, pemerintah memang memiliki komitmen untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual, yaitu dengan disahkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU 7/1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Yakni, UU 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, UU 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU 35/2014 Tentang Perlindungan Anak, dan pada tahun 2022 dengan mengesahkan UU TPKS ini.
Namun, hingga saat ini negara belum mampu menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena faktanya perempuan dan anak masih mengalami kekerasan seksual diantaranya perkosaan, pelecehan seksual, KDRT, perkosaan dalam rumah tangga, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, trafficking dengan tujuan eksploitasi seksual, prostitusi online, kekerasan dalam masa pacaran secara fisik dan psikis, dan kriminalisasi.
Baca Juga:
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien Berakhir dengan Penyerahan Uang Damai Rp 350 Juta
Dengan bentuk kekerasannya seperti dijambak, dibenturkan ke tembok, diancam akan dibunuh, diancam akan disebarkan foto atau video tanpa busana korban, memaksa korban untuk melakukan video call seks dan memperlihatkan alat kelamin pelaku, membujuk rayu korban dan memperjual belikan korban untuk melayani hubungan seksual, bahkan tidak diberi nafkah hingga diusir dari rumah.
Menurut ASA Indonesia, memang UU TPKS sudah berlaku tetapi dalam beberapa kasus belum diimplementasikan karena faktanya para korban masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan, seperti korban perempuan dewasa dengan modus dipacari pelaku sehingga nanti dianggap bukan kekerasan tetapi “suka sama suka”.
Kekerasan seksual dalam rumah tangga yang sulit untuk diproses karena dianggap tidak ada kekerasan dalam relasi suami istri, kasus yang tidak diproses setelah korban mendapatkan tekanan dari orang tua pelaku, dan korban diminta pelaku untuk mencabut laporannya dengan memberlakukan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice atau RJ), padahal di dalam UU TPKS sangat jelas mengatur bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diberlakukan mekanisme keadilan restoratif.
Oleh karena peristiwa kekerasan seksual di masyarakat saat ini sudah pada kondisi darurat, maka menurut Ketua Umum Dewan Pengurus ASA Indonesia, Sonia Ramadhani Syukur, S.H., LL.M, UU TPKS itu harus segera diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan.
“Lahirnya UU TPKS yang merupakan bentuk komitmen negara untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi. Namun karena peristiwa kekerasan seksual di masyarakat saat ini sudah pada kondisi darurat, maka UU TPKS itu harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan guna memastikan perlindungan bagi setiap warga negara, terutama buruh atau buruh perempuan dari kekerasan seksual di tempat kerja, juga kepada Anak-anak,” ujar Sonia.
“Untuk itu ASA menuntut Presiden agar segera mengesahkan aturan turunannya, serta bagi aparat hukum agar mengimplementasikan dalam penanganan kasus seperti tidak ada mekanisme RJ itu”, sambung Sonia.
Terkait implementasi keadilan restoratif, menurut Sonia, kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan banyak dampak negatif bagi korban. Korban mengalami penderitaan fisik dan psikis, kerugian materil juga imateril terutama aspek psikososialnya yaitu penderitaan psikis yang pemulihannya membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan seumur hidup.
Korban juga masih harus menanggung beban stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada korban, sehingga pendekatan keadilan restoratif sebaiknya tidak diberlakukan dalam kasus kekerasan seksual terhadap siapapun pelakunya (meskipun kemudian dikecualikan terhadap Pelaku Anak), karena selain tidak melindungi korban, juga akan memunculkan pandangan umum bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan cara hanya menganti rugi karena ada mekanisme keadilan restoratif, yang toh nantinya juga akan difasilitasi oleh aparat penegak hukum (APH).
“Penghentian penyidikan kasus kekerasan seksual karena penyelesaian melalui pendekatan RJ dengan adanya perdamaian, kesepakatan, atau melalui perkawinan antara pelaku dengan korban yang bisa saja difasilitasi oleh oknum APH atau diintimidasi oleh pihak pelaku, agar pelaku bebas dari jerat hukum, hal ini tentu bukan lah jalan keluar penanganan kasus yang tepat bagi korban untuk memperoleh keadilan,” kata Sonia.
“Justru akan membawa korban pada masalah-masalah baru seperti re-viktimisasi. Sejatinya kita juga menginginkan agar APH menghindari penyalahgunaan mekanisme RJ itu”, sambungnya.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Kajian Hukum, Advokasi Kebijakan dan Publikasi Akademik ASA Indonesia, Johan Imanuel, di dalam UU TPKS ada 11 (sebelas) pasal yang mengamanatkan untuk segera disahkannya aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Oleh karena itu, ASA Indonesia menuntut Presiden agar segera mengesahkan aturan turunan UU TPKS tersebut.
Berdasarkan pada situasi tersebut, maka ASA Indonesia menyatakan sikap:
1. Menuntut Pemerintah dan Pengusaha agar Menegakkan Hak-hak Konstitusional Buruh di Indonesia;
2. Menuntut Presiden Republik Indonesia agar segera mengesahkan peraturan turunan UU TPKS;
3. Menuntut Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat) Wajib Mengimplementasikan UU TPKS;
4. Menuntut Eksekutif dan Legislatif agar mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan;
5. Mendorong gerakan masyarakat sipil untuk melakukan kerja-kerja penghapusan kekerasan seksual terutama terhadap Perempuan dan Anak Indonesia.
Sementara itu Praktisi Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak yang juga Ketua Bidang Kajian Hukum dan Advokasi Kebijakan ASA Indonesia, Irwan Lalegit, S.H. menambahkan ASA Indonesia akan selalu mendorong terciptanya kepastian hukum di Indonesia dan mendukung komitmen pemerintah di bidang hukum.
ASA Indonesia adalah organisasi yang didirikan pada tanggal 17 Desember 2022 sebagai wadah bagi para alumni Anggota Perhimpunan Mahasiswa Hukum se-Asia atau Asian Law Students’ Association National (ALSA) Chapter Indonesia.
ALSA memiliki jaringan nasional di 15 (lima belas) universitas yaitu Universitas Syiah Kuala, Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Jember, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Mulawarman, dan internasional di 16 (enam belas) negara di Asia.