WahanaNews.co | Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menjelaskan pentingnya pengukuhan kawasan hutan sebagai
bentuk kepastian hukum.
Menurut
Firli, pengukuhan hutan dapat memberikan kepastian hukum dan
pelayanan kepada investor.
Baca Juga:
Analisis Pakar: Pelantikan Ketua KPK Sementara Cacat Hukum
"Pengukuhan
hutan untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan pelayanan kepada
investor. Karena modal kita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak bisa
hanya mengandalkan APBN, tetapi juga melalui dana investor. Sehingga, mereka
perlu diyakinkan untuk menanamkan investasinya di Indonesia," kata Firli dalam
webinar, Rabu (28/7/2021).
Firli
menyebutkan, untuk mewujudkan iklim investasi yang mendukung,
dibutuhkan sinergi dan kolaborasi segenap pemangku kepentingan, baik
di pusat maupun di daerah.
Hal
ini untuk mendorong perizinan yang transparan, akuntabel, dan
bebas korupsi.
Baca Juga:
Agus Raharjo Kirim Surat Protes ke Jokowi saat Firli Jadi Capim KPK
Mantan
Kapolda Sumatera Selatan itu mengatakan, pemerintah juga harus segera
melakukan percepatan terkait penyelesaian konflik agraria.
"Pertama, kita
kawal proses perizinan. Kedua, perizinan harus dilakukan melalui PTSP, dan
ketiga adalah melakukan upaya-upaya standarisasi perizinan. Sekaligus, layanan
perizinan dilakukan melalui teknologi informasi, sehingga interaksi dilakukan
secara elektronik melalui OSS," ujarnya.
Adapun,
salah satu aksi pencegahan korupsi yang dilaksanakan Stranas-PK pada tahun
2021-2022 adalah percepatan kepastian perizinan Sumber Daya Alam (SDA) melalui
implementasi kebijakan satu peta (one map
policy).
Salah
satu indikator keberhasilan aksi tersebut adalah penetapan kawasan hutan di
lima provinsi, yaitu Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Barat, dan Papua.
Kawasan
hutan, kata Firli, adalah salah satu kekayaan negara terbesar yang harus
dikelola sebaik-baiknya dengan tetap menjaga kelestariannya.
Sampai
dengan saat ini, kawasan hutan dan konservasi perairan Indonesia adalah seluas
125.817.021,96 Ha, terdiri dari daratan 120.495.702,96 Ha dan konservasi
perairan 5.321.321 Ha.
Tekanan
populasi yang sangat tinggi ditambah pertumbuhan ekonomi mengakibatkan konflik
dalam penggunaan ruang.
Sisa
wilayah darat non-kawasan hutan tidak cukup mengakomodasi kebutuhan
sektor-sektor lain.
Karena
itu, peluang tumpang-tindihnya kawasan kehutanan dengan sektor-sektor non-kehutanan
sangat besar.
Sengketa
lahan atau kawasan menjadi fenomena yang terus berulang.
Untuk
itu, pengukuhan kawasan hutan menjadi sangat penting.
Penataan
batas dan penetapan kawasan hutan selain sebagai upaya memberikan kejelasan
batas dan status hukum atas kawasan hutan, juga untuk mendapatkan pengakuan
atau legitimasi publik.
Kejelasan
batas akan memberikan kepastian hak atas tanah bagi masyarakat yang berbatasan
atau berada di sekitar kawasan hutan.
Sementara
itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam sambutannya menyampaikan komitmen
kuat Presiden terkait reforma agraria.
Dia
juga meminta segenap pihak untuk berkolaborasi mendorong percepatan pengukuhan
kawasan hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan.
Menurutnya,
pasca-UU Cipta Kerja disahkan, penetapan kawasan hutan menjadi aksi kolaboratif
semua pemangku kepentingan di pusat dan daerah.
"Saya
meminta semua memiliki komitmen bersama dalam aksi pemberantasan korupsi yang
sistematis dalam reforma agraria," katanya.
Kendati
demikian, Moeldoko mengakui bahwa proses pengukuhan kawasan hutan
merupakan permasalahan yang ada di hulu, dan jika tidak diselesaikan akan
menjadi persoalan di hilir yang dapat menghambat pembangunan nasional.
Catatan
KSP, pada rentang 2015-2021 pemerintah menerima 1.191 aduan terkait konflik
agraria.
"Pada
November 2020 Presiden mengadakan rapat internal untuk mendorong percepatan
penyelesaian konflik agraria, termasuk yang berada di dalam kawasan hutan.
Tahun ini ditargetkan penyelesaian 137 dari total aduan yang diterima,"
ujarnya.
Sementara
itu, dalam laporannya sebagai Koordinator Tim Nasional (Timnas) Stranas-PK
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan memaparkan perkembangan implementasi
aksi di lima provinsi.
Beberapa
daerah menunjukkan capaian yang tinggi pada tahapan kompilasi, sehingga
siap untuk menuju tahapan selanjutnya, yaitu integrasi dan kemudian sinkronisasi.
Data
per Desember 2020, sebut Pahala, tercatat Riau telah menetapkan kawasan hutan
sebanyak 39,15 persen; Papua (81,25 persen); Kalimantan Timur (95,08 persen);
Sulawesi Barat (97,22 persen); dan Kalimantan Tengah (32,19 persen).
"Kenapa
lima provinsi ini yang dipilih? Karena lengkap di lima provinsi ini, ada
perkebunan, pertambangan, dan masyarakat adat. Memang di Papua belum ada
investor, tapi luasan hutannya luar biasa. Itu kenapa kita pilih lima provinsi
ini," ucapnya Pahala. [dhn]