WahanaNews.co | Puluhan prajurit Kopassus yang terlibat bentrokan dengan Brimob di Papua akan mendapatkan sanksi tegas.
Tak hanya itu mereka juga bakal menghadapi Panglima TNI.
Baca Juga:
4.000 Prajurit TNI Kena Sanksi Akibat Terlibat Judi Online
Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, memastikan hal tersebut.
Polisi Militer telah diperintahkan untuk menyeret prajurit yang ikutan bentrok Kopassus dan Brimob di Timika Papua.
Jenderal Andika Perkasa ingin insiden itu segera diusut dan ditelusuri pelanggaran pidananya.
Baca Juga:
Danpuspom TNI Pimpin Apel Gelar Pasukan Penegakan Hukum Tahun 2024
"Puspom TNI sedang proses semua oknum TNI yang terlibat dugaan tindak pidana di Timika itu," kata Jenderal Andika Perkasa, Senin (29/11/2021).
Kronologi
Keributan itu terjadi di lokasi Ridge Camp Pos RCTU Mile 72 tepatnya di depan Mess Hall, Timika Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Sabtu (27/11/2021).
Peristiwa itu berawal dari personel Brimob Satgas Amole Kompi 3 yang berada di pos RCTU Ridge Camp Mile 72 berjualan rokok.
Saat bersamaan datang personel Kopassus Satgas Nangggala sebanyak 20 orang hendak membeli rokok.
Kopassus tak terima harga rokok yang mahal.
Mereka mengeroyok anggota Brimob Satgas Amole.
Selanjutnya personil yang berada di lokasi Pos RCTU melakukan perlawanan.
Brimob menyisir lokasi kejadian guna menyelamatkan rekan rekan yang terluka.
Ke-5 anggota yang menjadi korban itu yakni Bripka Risma, Bripka Ramazana, Briptu Edi, Bharaka Heru Bharatu Munawir, dan Bharatu Julianda.
Jiwa Korsa Berlebihan
Konflik pertikaian antara Kopassus dan Brimob di Mimika Papua ibarat sebuah penyakit kambuhan berulang.
Konflik terus berulang dipicu masalah yang sepele.
Sebagai contoh adalah rokok, untuk kasus terbaru ini.
Hal itu diungkap Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.
Masalah-masalah bentrok antara personel TNI dan Polri tidak bisa diselesaikan dengan baik dan menyeluruh.
“Ini kan penyakit kambuhan, berulang, dan tak pernah mengobati dengan baik,” kata Khairul Fahmi, Senin (29/11/2021).
Perlu ada komitmen bersama untuk membenahi institusi masing-masing.
Faktor-faktor yang memicu bentrokan ada dalam internal institusi.
Ada persoalan ego sektoral, senioritas, kebanggaan dan jiwa korsa yang kompak dan berlebihan.
“Itu berakses pada rendahnya penghormatan dan hadirnya ketidaksukaan pada pihak lain,” tuturnya.
Faktor lain adalah karena dicetak untuk memiliki mental juara.
Baik TNI dan Polri ada rasa malu untuk kekalahan dan kesalahan.
Kasus bentrokan di Papua sangat mudah tersulut.
Dua pihak merasa hebat, merasa paling jago.
Mereka punya mental juara.
Kalah sama dengan memalukan.
Harga rokok pun jadi pemicunya.
Ada kesenjangan antara realitas digital dan realitas sosial.
Realitas digitalnya, pimpinan TNI Polri itu dipertontonkan baik.
Saling mendukung dan menyemangati.
Namun sisi realitas, bagai langit dan bumi.
Prajurit di bawah justru belum menampakkan kolaborasi tersebut.
“Ada kesenjangan reputasi digital yang dibangun oleh baik TNI/Polri yang menunjukkan sinergitas kolaborasi di antara mereka baru sebatas reputasi digital dan belum nampak dengan baik dalam konsumsi realitas sosial,” paparnya.
Kunci menyelesaikan konflik berulang ini adalah pembenahan integritas moral.
Termasuk dengan kepemimpinan para perwira-perwira di lapangan.
Para pemimpin seharusnya lebih dulu menerapkan kedisiplinan dan kepatuhan.
Para pemimpin harus memiliki kesadaran untuk tidak memalukan merusak nama baik korps.
“Ini akan menjadi teladan personel di bawahnya, tanpa perlu sibuk dengan event seremonial menunjukan kekompakan yang justru sulit terlihat di lapangan,” tuturnya. [qnt]