WahanaNews.co | Polarisasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 merupakan ancaman dalam merawat keberagaman masyarakat. Polarisasi tersebut harus dijauhkan dari Pemilu 2024 nanti.
Polarisasi terjadi karena pengaruh informasi yang sangat pesat melalui media sosial yang didalamnya ada berita bohong atau hoaks, disinformasi, serta misinformasi.
Baca Juga:
Untuk Redam Polarisasi, Bawaslu akan Siapkan Satgas Medsos Pemilu
Polarisasi juga muncul karena politik identitas, pemanfaatan isu, sara, politik permusuhan, hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Shita Laksmi mengungkapkan, pemilu 2024 kemungkinan besar akan diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang mengancam memperdalam polarisasi.
Berdasarkan pantauan Drone Emprit, sebuah sistem yang memonitor dan menganalisa media sosial berbasis big data, selama tiga bulan jelang akhir 2022, peta pola narasi Pemilu 2024 yang terbangun di media sosial tidak jauh berbeda dari Pemilu 2019.
Baca Juga:
Cegah Polarisasi, Bawaslu Akan Bentuk Satgas Pengawas Medsos
Shita menambahkan, isu polarisasi semakin menguat diantaranya karena adanya pelemahan ragam ruang publik dan kebebasan bersuara, serta meningkatnya celah praktik oligarki. Merawat keberagaman sebagai aset perubahan, kata Shita, bisa meminimalisir terjadinya polarisasi.
“Tifa percaya kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan. Pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil dan setara, juga menyenangkan. Perbedaan pandangan maupun pilihan pemimpin patut dilandasi oleh rasa saling percaya, toleransi, dan menghargai. Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit dipertahankan,” kata Shita dalam acara Ulang Tahun ke-22 Yayasan Tifa di Jakarta, Jumat (16/12/2022).
Shita kemudian mengungkapkan, politik identitas juga bisa menjadi salah satu penyebab munculnya polarisasi. Ini karena banyak elite politik yang menggunakan politik identitas untuk mendapatkan dukungan politik.
“Strategi politik identitas baik agama, suku, ras atau antar golongan membuat muncul banyak pola intoleransi dan konflik horizontal semakin mengemuka. Minimnya jumlah capres-cawapres yang hanya dua pasang juga membuat masyarakat terbelah dua. Polarisasi bisa diminimalisir apabila ada lebih dari dua pasangan capres-cawapres pada pemilu 2024,” lanjut Shita.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Tifa Endy Bayuni mengatakan, demorasi di Indonesia akan selalu menjadi sebuah work in progress. Menurut dia, Indonesia sekarang sudah jauh beranjak dari sebuah masyarakat yang tertekan, yang tidak demokratis dan tidak ada keterbukaan.
”Proses reformasi yang kita jalankan menunjukkan bahwa semakin demokratis sebuah bangsa, semakin besar tantangan yang dihadapi, bukannya mengecil. Melihat perkembangan politik dan sosial Indonesia saat ini, sangat mudah kita untuk merasakan frustrasi dan kesal, apalagi ditengah banyaknya komentar mengenai terjadinya democratic stagnation, regression dan backsliding. Namun sentimen ini janganlah menjadikan kita mundur atau menyerah terhadap keadaan ini. Sebaliknya, ini menjadi cambukan bagi kita semua yang bergerak di dunia Civil Society untuk semakin memperkuat usaha dan perjuangan membangun masyarakat yang terbuka dan demokratis berkhidmat pada pluralisme, kesetaraan dan keadilan,” kata Endy. [sdy]