WAHANANEWS.CO, Jakarta - Langkah karier seorang perempuan di dunia hukum tak selalu mulus, tetapi ada nama yang terus menapak tanpa menoleh, dan kali ini sorotan tertuju pada Chatarina Muliana Girsang yang resmi menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Bali setelah keputusan mutasi yang ditandatangani langsung Jaksa Agung ST Burhanudin pada Senin (13/10/2025).
Jaksa Chatarina Muliana Girsang bukan nama asing dalam struktur Korps Adhyaksa Indonesia karena sebelum dipercaya memimpin Kejati Bali ia merupakan Jaksa Ahli Utama JAM Pembinaan di Kejaksaan Agung.
Baca Juga:
Jaksa Agung Mutasi 73 Pejabat, di Antaranya 17 Kajati
Mutasi itu tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 854 Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia yang mengatur rotasi sejumlah pejabat termasuk posisi yang kini ditempatinya.
Chatarina menggantikan Ketut Sumedana yang dipindahkan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam rangka penyegaran kepemimpinan di tubuh kejaksaan.
Sosok Chatarina pernah dikenal publik sejak awal 2000-an ketika media hukum mencatat gaya kepemimpinannya yang tegas dan patuh pada struktur komando sebagaimana terlihat saat ia bertugas sebagai jaksa penuntut umum KPK.
Baca Juga:
Rotasi Besar, Jaksa Agung Teken Mutasi 73 Pejabat Termasuk 17 Kajati
Sekitar awal Januari 2011 tercatat bahwa ketika dimintai wawancara ia tak langsung menyanggupi sebelum memperoleh restu dari atasannya di KPK yakni Direktur Penuntutan Ferry Wibisono yang menunjukkan karakter disiplin dan kepatuhan prosedural yang kuat.
Ia mengaku keputusan menjadi jaksa sudah muncul sejak masa SMA setelah sering menonton film bertema hukum dan kriminal yang membangkitkan ketertarikannya pada dunia penegakan hukum.
Pada mulanya orang tua menentang pilihannya untuk masuk ke dunia hukum karena berharap ia melanjutkan pendidikan di jurusan lain yang lebih umum untuk siswa IPA.
Namun berkat keyakinan dan kegigihan, Chatarina muda akhirnya diberi izin oleh orang tuanya untuk mengejar studi hukum.
Selepas SMA ia masuk jurusan hukum perdata di Universitas Brawijaya Malang sebagai langkah awal mewujudkan cita-citanya.
“Orang tua awalnya menginginkan saya masuk jurusan teknik atau kedokteran, karena di SMA 3 Jakarta Selatan jurusan saya IPA,” kenangnya tentang masa itu.
Baru setahun kuliah di Brawijaya, wanita kelahiran Jakarta ini merasa waktunya kurang produktif karena terbiasa aktif mengikuti berbagai kegiatan saat masih SMA.
Akibat kebiasaan itu ia memutuskan mengambil jurusan kedua yaitu akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi secara bersamaan dengan kuliah hukum.
“Atas dasar itu saya ambil dua jurusan dalam waktu yang hampir bersamaan, jurusan hukum perdata di Universitas Brawijaya Malang sedangkan jurusan akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi,” tuturnya.
Kedua studinya itu diselesaikan dalam rentang waktu bersamaan setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan ganda.
“Untuk sarjana hukum saya lulus dengan predikat cum laude, sedangkan di akuntansi indeks prestasi saya 3,4,” ujarnya bangga mengenang tahun 1996.
Setelah kelulusannya ia langsung mengikuti proses rekrutmen pegawai kejaksaan dan dinyatakan lolos sebagai bagian dari Korps Adhyaksa.
“Akhirnya saya lolos masuk Kejaksaan, waktu itu akhirnya ibu saya mendorong masuk Kejaksaan karena kalau menjadi pegawai negeri, perempuan lebih luwes lebih banyak luang waktu untuk keluarga,” ungkapnya.
Penugasan awalnya dimulai sebagai tenaga administrasi di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan sebelum pada 1999 ia diangkat menjadi jaksa dan ditempatkan di Kejaksaan Negeri Bekasi.
Penugasan itu hanya berlangsung sekitar satu bulan sebelum ia ditarik ke Kejaksaan Agung untuk bertugas sebagai jaksa pada staf khusus Jaksa Agung.
“Jadi membantu Jaksa Agung yang pada waktu itu zamannya Pak Marzuki Darusman dan Pak MA Rahman,” jelasnya saat mengenang periode dinas tersebut.
Pada awal 2002 hingga 2005 ia kembali ditugaskan sebagai Kasubsi Ekonomi Moneter Divisi Intelijen di Kejaksaan Negeri Bekasi yang memperluas pengalamannya dalam isu-isu strategis.
Sambil mengemban tugas ia melanjutkan pendidikan S2 jurusan Pidana Internasional di Universitas Padjadjaran hingga lulus dengan predikat cum laude pada 2007.
Jika masa tugasnya di KPK berakhir ia menyatakan akan sepenuhnya mengikuti arahan pimpinan apakah tetap di KPK atau kembali ke Kejaksaan Agung.
“Sama-sama mengabdi ke negara, kalau saya merasa sama-sama mengabdi dan saya juga terikat di Kejaksaan, kami mengikuti bagaimana perintah dari atasan di Kejaksaan,” ujarnya.
Rasa cintanya pada profesi semakin menguat terutama saat kembali ditugaskan menangani perkara korupsi yang menjadi lini utama kariernya sebagai penuntut.
Ia menegaskan bahwa meski berperan sebagai penuntut umum, keadilan tetap harus dijunjung tinggi dan bila terbukti tidak bersalah maka harus berani mengakuinya.
Sebaliknya jika terdakwa dipandang bersalah, ia berharap prinsip keadilan ditegakkan secara konsisten dalam persidangan.
“Jadi prinsip saya bagaimana pun saya juga harus bertanggung jawab dengan Tuhan, jadi saya mencoba prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, saya harus berusaha dalam perkara kita apakah dilakukan secara adil,” ujarnya tegas.
Menurutnya tugas jaksa di KPK tidak hanya muncul ketika perkara dilimpahkan ke pengadilan karena sejak awal penyelidikan mereka turut terlibat untuk memastikan kasus bisa naik ke penyidikan.
Jika perkara sudah memasuki tingkat penyidikan, peran jaksa berubah menjadi jaksa peneliti untuk memastikan berkas perkara lengkap tanpa kekurangan.
Tugas jaksa peneliti semacam supervisor proses penyidikan sebelum perkara dibawa ke pengadilan dan disidangkan hingga eksekusi.
Ia juga menyebutkan bahwa jaksa tetap mengikuti proses hukum hingga banding, kasasi di Mahkamah Agung hingga inkracht serta menyiapkan tanggapan jika ada upaya hukum luar biasa seperti praperadilan.
“Kami membuat tanggapan, memori-memori banding hingga ke tingkat kasasi,” ujarnya menggambarkan tugas tambahan.
Menjadi jaksa menurutnya membuka wawasan karena setiap perkara menghadirkan materi baru yang harus dipelajari seperti perbankan atau pengadaan barang dan jasa yang menuntut pemahaman menyeluruh.
“Jadi menariknya menjadi jaksa itu proses belajarnya tidak berhenti, kita banyak mempelajari hal-hal baru dari setiap perkara,” ucapnya.
Tantangan lain muncul saat di persidangan karena keluarga terdakwa sering tidak memahami posisi jaksa sebagai penegak hukum yang bertugas atas nama negara.
Sebab pertarungan argumentasi di pengadilan kerap menempatkan jaksa dan terdakwa pada dua sisi berlawanan sehingga pihak keluarga menganggap jaksa sebagai musuh.
Meski demikian pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya dan ia tetap menikmatinya meskipun harus menganalisis berkas hingga larut malam.
“Karena mungkin sudah kebiasaan senang kerja, jadinya walaupun menyita waktu dinikmati saja, kalau anak sakit anak lagi ujian ini saja yang agak berat, tapi sepanjang ini masalah dapat diselesaikan,” ungkap ibu dari Benedictus Stefano Ginting dan Audrey Ginting ini.
Meski dikenal sebagai jaksa berprestasi ia mengaku belum menemukan sosok perempuan di bidang hukum yang benar-benar menjadi inspirasinya.
Baginya definisi perempuan sukses adalah yang mampu menyeimbangkan peran sebagai ibu, istri dan pekerja secara bersamaan tanpa mengabaikan salah satunya.
“Jadi menurut saya wanita sukses itu wanita yang bisa menyeimbangkan tiga-tiganya, mungkin karena perempuan-perempuan hebat di bidang hukum selama ini tak pernah dipublish mengenai masalah keluarganya jadi saya belum lihat,” tutupnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]