WahanaNews.co | Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief
Budiman, menanggapi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
yang memberhentikan dia dari jabatannya.
Arief mengatakan, ia tak pernah melakukan perbuatan yang mencederai integritas pemilihan umum.
Baca Juga:
Sisa Dana Hibah Pilkada 2024, KPU Taput Serahkan Rp6,266 Miliar ke Pemkab
"Saya tidak pernah melakukan
pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas Pemilu," kata Arief kepada wartawan, Rabu (13/1/2021).
Meski begitu, Arief mengatakan, KPU masih menunggu salinan putusan resmi dari DKPP.
Ia mengatakan, KPU akan
mempelajari terlebih dulu putusan tersebut untuk menyatakan langkah
selanjutnya.
Baca Juga:
KPU Sulawesi Utara Evaluasi Pertanggungjawaban Keuangan Dana Hibah Pemilihan Serentak 2024
"Secara resmi, kami biasanya dikirim hard
copy (putusan). Nah kami tunggu, kami pelajari, barulah
nanti bersikap bagaimana," kata dia.
DKPP sebelumnya memutuskan
memberhentikan Arief Budiman dari jabatan Ketua KPU
karena dianggap melanggar etik dan tak menghormati sesama lembaga penyelenggara
pemilu.
Perkara etik ini bermula dari putusan
DKPP yang memberhentikan secara tetap Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU pada Maret 2020.
Evi sebelumnya diberhentikan lantaran
dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Kasus ini terkait dengan perubahan
perolehan suara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, keduanya calon
legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat dari Partai
Gerindra.
Arief diadukan ke DKPP karena
diketahui menemani Evi menggugat keputusan pemberhentian itu ke Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta.
Tindakan itu dianggap membangkang
terhadap putusan DKPP soal pemberhentian Evi yang bersifat final
dan mengikat.
Arief juga dianggap membuat surat yang
melampaui kewenangannya sebagai Ketua KPU.
Setelah gugatan Evi dimenangkan PTUN,
Arief berkomunikasi dengan Sekretariat Negara, sehingga
Presiden Joko Widodo membatalkan Keputusan Presiden terkait pemberhentian Evi
secara tidak hormat.
Menindaklanjuti keputusan tersebut,
Arief membuat surat yang meminta Evi aktif melaksanakan tugas sebagai anggota
KPU.
DKPP menilai, surat ini
melampaui kewenangan, sebab Presiden dalam keputusannya tidak mencantumkan
frasa atau ketentuan yang memerintahkan Arief untuk mengangkat dan mengaktifkan
kembali Evi sebagai komisioner.
Dalam sidang pembacaan putusan,
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, yang juga anggota DKPP ex-officio, menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.
Pramono di antaranya menyatakan, tanda tangan Arief dalam surat yang dipersoalkan itu dalam
kapasitasnya sebagai Ketua KPU, bukan pribadi.
Jika Arief bukan Ketua KPU, kata Pramono, orang lainlah yang akan membubuhkan tanda
tangan tersebut.
Pramono juga menyatakan adanya
komunikasi dengan Kementerian Sekretariat Negara yang awalnya berpendapat tak
perlu Keputusan Presiden untuk mengaktifkan kembali Evi pascakeluarnya putusan
PTUN.
Kalau pun tindakan Arief
menandatangani surat itu dianggap pelanggaran, Pramono berpendapat hal tersebut
bukan pelanggaran berat yang mesti dijatuhi sanksi maksimal.
Pramono berpendapat, koleganya itu tak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses
atau hasil pemilu, menguntungkan atau merugikan salah satu pihak, serta bukan
merupakan tindakan asusila.
"Seandainya tindakan tersebut
dianggap sebagai sebuah pelanggaran, maka saya berpandangan bahwa Saudara Arief
Budiman tidak selayaknya dijatuhi sanksi paling berat berupa pemberhentian
tetap sebagai anggota dan jabatan ketua atau pemberhentian dari jabatan
ketua," kata Pramono. [qnt]