WahanaNews.co | Bukan untuk menakut-nakuti atau fear mongering, tapi ada hikmah yang bisa dipetik dari aksi hacker Bjorka yang mengklaim membocorkan data negara belakangan ini.
Penyelenggara Pemilu 2024 harus waspada terhadap kemungkinan peretasan data Pemilu 2024.
Baca Juga:
Kasus Judol, Budi Arie Jadi Korban Pengkhianatan Pegawai Komdigi
Awas kena hack!
"Apa yang dilakukan Bjorka menjadi pelajaran," kata Agung Harsoyo, pakar teknologi informasi dari STEI ITB, membagikan perspektifnya kepada wartawan, Senin (12/9/2022).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut cermat terkait data/IT Pemilu.
Baca Juga:
6 Juta Data NPWP Diduga Bocor, Termasuk Milik Jokowi dan Gibran di Daftar Utama!
Data Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) mesti disimpan sesuai standar “maximum security”.
"Keamanan IT mesti betul-betul dijaga, mesti menerapkan best practices security dunia," ujar Agung, yang merupakan penyabet gelar doktor dari L'Ecole Nationale Superieure des Telecommunications de Bretagne, Prancis.
Ada tiga proses besar Pemilu 2024 di mata Agung, yakni persiapan, pelaksanaan, dan pasca-pemungutan suara.
Mekanisme pencocokan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) harus diubah dengan cara melibatkan masyarakat yang sudah melek internet, mencapai 200 juta orang.
"Mesti dilakukan sejak sekarang," kata dia.
Bukan tidak mungkin, menurut Agung, Bjorka punya tujuan politik Pemilu 2024 di Indonesia.
Jangan sampai Pemilu 2024 dibobol hacker.
"Kalau nantinya sistem pemilu kita diretas hacker, tentu implikasi politiknya ada besar," kata dia.
Namun, dengan upaya maksimal, dengan penerapan praktik terbaik yang paling mutakhir, keamanan data Pemilu 2024 bakal sulit dibobol.
Pemerhati kepemiluan, Titi Anggraini, juga membagikan pandangannya.
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini menilai kasus Bjorka harus meningkatkan kewaspadaan penyelenggara Pemilu 2024 soal potensi serangan siber.
"Sudah semestinya menjadi peringatan bagi keseriusan semua pihak, terutama KPU, dalam menjaga keamanan data dan juga teknologi informasi yang akan digunakan pad Pemilu 2024 mendatang," kata Titi, yang dihubungi wartawan secara terpisah.
KPU mengelola banyak sekali data warga soal pesta demokrasi yang sangat penting itu.
Ada data pemilih, data kandidat Pemilu itu sendiri, maupun data perolehan suara pemilu nantinya.
Bila serangan siber mengacak-acak data yang mahapenting itu, kepercayaan publik terhadap KPU menjadi taruhannya.
Tentu tidak ada yang berharap itu terjadi.
"Serangan siber bukan hanya membahayakan keamanan data pribadi warga namun juga bisa merusak kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu maupun hasil pemilu itu sendiri," kata Titi.
Hoax Juga Bahaya!
Tak cuma serangan siber an sich, tapi juga hoax yang mengiringinya.
Isu serangan siber, meski bisa jadi itu tidak benar-benar ada, bisa jadi digoreng sedemikian rupa untuk mendelegitimasi hasil Pemilu.
Itu sangat berbahaya.
"Disertai adanya penyebaran disinformasi atau hoaks yang turut memperburuk suasana serta menambah polarisasi di masyarakat," kata Titi.
Masalah yang mirip seperti ini pernah terjadi pada 2019, yakni masalah Sistem Teknologi Informasi Penghitungan Suara (Situng) yang dirumorkan terjadi manipulasi, padahal Situng bukan mekanisme resmi dalam rekapitulasi, melainkan hanya instrumen layanan transparansi dari KPU.
Masalah itu sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan sampai memicu protes massa ke KPU.
KPU dan Bawaslu harus serius menyiapkan keamanan sistem Teknologi Informasi (TI) Pemilu 2024 yang tangguh.
Manajemen risiko juga perlu dipastikan guna mengantisipasi hacker-hacker serupa Bjorka, hacker-hacker jenis lain, atau juga penyebaran hoax. [gun]