WahanaNews.co, Jakarta - Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan kejanggalan yang terdapat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Senin (16/10/2023).
Arief merasa ada kejanggalan karena melalui keputusan tersebut, MK mengizinkan pihak yang belum mencapai usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama mereka memiliki pengalaman dalam menjabat sebagai kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
Namun, Arief mencatat bahwa pada hari yang sama, MK sebelumnya telah menolak tiga gugatan terkait batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden, yang mengubah batasan usia dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Menurut Arief, ada ketidaksesuaian dan kebingungan yang muncul dalam lima perkara yang sedang ditangani oleh MK mengenai batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Arief merasa perlu mengungkapkan kejanggalan ini karena merasa terganggu secara etika.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Keganjilan pertama, papar hakim konstitusi yang diusulkan DPR ini, adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.
Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK pagi tadi, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.
Ia menyebutkan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.
"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal in merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK," ucap Arief, melansir Kompas.
Berkenaan dengan itu, ia mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.
Keganjilan lainnya adalah keterlibatan Ketua MK Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.
Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.
Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief bahkan sempat menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]