WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kursi panas ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (8/10/2025) mendadak berguncang setelah pengakuan mengejutkan keluar dari mulut hakim nonaktif Ali Muhtarom.
Ia dengan tenang mengaku menerima uang suap senilai Rp 6,2 miliar demi memuluskan vonis lepas terhadap perkara korupsi fasilitas ekspor tiga korporasi raksasa crude palm oil (CPO).
Baca Juga:
Pengacaranya Diperiksa Kasus Vonis Lepas CPO, Tom Lembong Cabut Kuasa
Pengakuan itu disampaikan Ali saat diperiksa sebagai saksi mahkota dalam sidang kasus suap yang menjerat eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, bersama tiga terdakwa lain.
“Betul, memang ada penerimaan uang. Saya ada menerima uang dari Pak Agam maupun saya diberikan uang oleh Pak Dju,” ujar Ali di hadapan majelis hakim.
Dalam perkara tersebut, uang suap berasal dari korporasi dan diserahkan melalui pengacara mereka, Ariyanto.
Baca Juga:
Hakim Terima Suap, Menko Yusril Tegaskan Harus Diproses Hukum
Namun, Ali tidak menerima uang itu langsung dari sang pengacara, melainkan melalui dua rekan sesama hakim, Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin.
Ketiganya diketahui duduk bersama dalam majelis hakim yang mengadili perkara korupsi tiga korporasi besar CPO tersebut.
Ali menguraikan, uang suap diterima dalam dua tahap. Penyerahan pertama terjadi sekitar Mei atau Juni 2024, saat perkara masih berjalan setelah eksepsi terdakwa ditolak pada putusan sela bulan April 2024. Lokasi penyerahan pertama berlangsung di ruang kerja Djuyamto dan Agam di PN Jakarta Pusat.
“Kemudian, saya di depan meja Pak Dju. Pak Agam memberikan saya uang, beliau menyampaikan, ‘Ini ada uang titipan untuk baca berkas’. Dan ini dari Pak Dju juga menyampaikan, ‘Ini ada atensi dari pimpinan’,” jelas Ali.
Ia menuturkan menerima satu amplop coklat berisi 6-7 ikat uang dolar Amerika Serikat, yang nilainya diperkirakan sekitar 60.000-70.000 dolar atau setara Rp 1,1 miliar.
Beberapa bulan kemudian, pada Oktober 2024, terjadi penyerahan kedua di depan sebuah bank di Jalan Veteran, Gambir, Jakarta Pusat.
Saat itu, Agam dan Ali mendatangi Djuyamto yang sudah lebih dahulu menunggu. Dalam satu mobil, sopir Djuyamto membuka pintu belakang dan menaruh dua tas kertas berisi uang. Setelahnya, ketiganya bubar tanpa banyak bicara.
Sebelum berpisah, Agam sempat mengantar Ali ke kosannya dan mengambil satu tas kertas berisi uang, sementara satu tas lainnya dibawa Agam sendiri. “Saya baru tahu isinya saat saya di kos, sekitar Rp 5 miliar lah,” ujar Ali. Menurutnya, penyerahan kedua ini juga menggunakan mata uang asing senilai sekitar 330.000 dolar AS atau setara Rp 5,1 miliar.
Kasus suap ini menyeret total lima orang hakim dan pegawai pengadilan dengan total uang suap mencapai Rp 40 miliar.
Jaksa membeberkan rincian penerimaan uang: eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, menerima Rp 15,7 miliar, panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar, sementara ketua majelis hakim Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar.
Dua hakim anggota, yakni Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Sebagai imbalannya, ketiganya memutus vonis lepas bagi tiga korporasi besar CPO, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Sementara Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan disebut berperan dalam proses negosiasi dengan pengacara dan turut mengatur strategi agar majelis hakim memutus sesuai permintaan pihak pemberi suap.
Kasus ini menjadi salah satu sorotan besar di dunia peradilan, menyingkap bagaimana uang dapat mengatur arah keadilan di balik toga yang seharusnya menjunjung hukum di atas segalanya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]