“Hukum harus memberi perlindungan pada martabat manusia, terutama anak sebagai subjek yang rentan. Hakim memastikan bahwa anak tidak direndahkan atau terhalangi hak pendidikannya.,” jelasnya.
Sementara itu, melalui pendekatan Welfare Approach, Hakim menerapkan prinsip Best Interest of the Child (Kepentingan terbaik bagi anak) yang merupakan mandat dalam UU Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Fokus bukan pada kesalahan semata tetapi kesejahteraan anak. Pendekatan Sociological Jurisprudence juga menjadi dasar dalam keputusan ini.
Baca Juga:
Terbukti Mau Santet Mati Presiden, Dua Pria di Zambia Divonis 2 Tahun Penjara
“Hukum dipandang sebagai sarana mencapai tujuan sosial. Hakim melihat realitas sosial: sekolah, sertifikat pendidikan, peluang masa depan,” tambahnya.
Berbekal bantuan dari hakim, anak tersebut akhirnya berhasil menebus ijazah SMP dari Sekolah. Meski demikian, proses persidangan tetap berjalan hingga tahap putusan. Dalam persidangan terakhir, anak menyatakan penyesalannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Saya menyesal dan berterima kasih kepada Bapak Hakim karena telah membantu saya menebus ijazah. Saya ingin bersekolah lagi,” ujar anak tersebut dengan haru.
Baca Juga:
Profil Sushila Karki, Perdana Menteri Nepal Sementara yang Dipilih Generasi Z
Hakim Johnicol berharap anak itu dapat memperbaiki masa depannya.
“Saya hanya ingin memastikan dia memiliki kesempatan kedua. Semoga dengan ijazah itu, dia bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik,” tutupnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.