WahanaNews.co | Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar segera mencabut aturan yang meloloskan mantan narapidana kasus korupsi untuk bersaing dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif sebelum memenuhi jeda waktu lima tahun.
Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD (PKPU 10/2023) dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 11/2023), KPU dinilai menyelundupkan pasal yang membuka celah mantan koruptor untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif tanpa melewati masa jeda waktu lima tahun.
Baca Juga:
Hasil Rekapitulasi KPU: Eliyunus Waruwu-Sozisokhi Hia Unggul di Pilbup Nias Barat
"Jelas dan terang benderang tindakan KPU itu dapat dikategorikan sebagai pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tulis ICW melalui rilis tertulis, dikutip Rabu (24/5/2023).
"Bukan cuma itu, KPU pun menunjukkan sikap permisif terhadap praktik korupsi politik serta memberikan 'karpet merah' kepada para koruptor dalam mengikuti pesta demokrasi tahun 2024 mendatang," imbuhnya.
Menurut ICW, dua aturan itu secara sederhana menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun, sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik.
Baca Juga:
Dua Kecamatan ‘Clear’ Rekapitulasi, Ketua KPU Kota Bekasi Klaim Pleno Terbuka Kondusif
ICW menyebutkan sejumlah kontradiksi antara PKPU tersebut dengan Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023.
Dua putusan MK itu, jelas ICW, sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif.
Oleh karena itu, ICW mendesak KPU untuk mengambil dua langkah.
Pertama, mencabut dua PKPU tersebut.
Kedua, tidak lagi mencantumkan syarat berupa menjalani masa hukuman pencabutan hak politik dan tetap berpegang pada putusan MK berupa melewati masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif.
"Jika desakan di atas tidak kunjung dipenuhi, maka kami akan melakukan uji materi dua PKPU tersebut ke Mahkamah Agung," tegas ICW.
Berikut bunyi putusan MK terkait pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu):
1. Putusan MK No 87/PUU-XX/2022
Menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
2. Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023
Menyatakan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
Perseorangan dapat menjadi calon anggota DPD RI setelah memenuhi persyaratan:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dua amar putusan di atas menunjukkan bahwa MK mewajibkan bagi mantan terpidana korupsi untuk melewati masa jeda waktu selama lima tahun sebelum nantinya diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, tanpa ada pengecualian apapun, termasuk pencabutan hak politik.
"KPU keliru dalam memahami perhitungan waktu bagi mantan terpidana korupsi yang diperbolehkan ikut dalam kontestasi politik," kata ICW.
ICW menjelaskan, merujuk pada turunan PKPU 10/2023, yakni Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR RI dan DPRD (KepKPU 352/2023), turut dilampirkan simulasi perhitungan yang digunakan oleh KPU ketika menghadapi peristiwa mantan terpidana korupsi yang dikenakan pencabutan hak politik dan ingin maju sebagai calon anggota legislatif.
Berikut uraian dari KepKPU tersebut:
“Mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, yang bersangkutan bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020. Jika mendasarkan pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 maka jeda waktu untuk bisa dipilih harus melewati 5 (lima) tahun sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025.
Namun berdasarkan pertimbangan hukum yang termuat pada halaman 29 Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yang mempertimbangkan ”sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, sehingga mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, maka hanya berlaku pencabutan hak pilih tersebut. Yang bersangkutan telah memiliki hak untuk dipilih per tanggal 1 Januari 2023, terhitung 3 (tiga) tahun sejak bebas.”
"Berdasarkan KepKPU di atas terlihat bahwa KPU seperti berpura-pura tidak memahami konstruksi putusan MK," jelas ICW.
"Mestinya perhitungan yang benar tetap berpijak pada kewajiban melewati masa jeda waktu lima tahun, kemudian dikurangi dengan lamanya pencabutan hak politik," lanjutnya.
Oleh karena itu, kata ICW, jika terpidana dikenakan pencabutan hak politik selama tiga tahun sebagaimana simulasi di atas, hak politiknya tetap tidak bisa langsung digunakan, melainkan harus menunggu dua tahun lagi agar mandat putusan MK berupa masa jeda waktu dapat terpenuhi.
Terlebih lagi, MK telah menguraikan alasannya mengapa waktu lima tahun harus dipatuhi sebagai masa jeda sebelum seorang mantan terpidana maju dalam kontestasi politik, yakni:
“Sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”
Melalui penegasan uraian putusan di atas, kata ICW, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa MK menghendaki masa jeda waktu bagi mantan terpidana yang ingin maju dalam kontestasi politik apa pun, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif.
"Dua PKPU yang dibuat oleh KPU ini akan menimbulkan dampak buruk bagi Pemilu, pemberantasan korupsi, dan masyarakat sebagai Pemilih," tegasnya.
ICW menguraikan setidaknya tiga dampak buruk dari dua PKPU tersebut.
Pertama, KPU terlihat seperti sedang ingin mencoreng nilai integritas dalam Pemilu.
Kedua, KPU berpihak pada koruptor dan mengabaikan pemberian efek jera kepada pelaku korupsi.
Ketiga, KPU melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan wakil rakyat yang berintegritas.
"Dalam hal ini penting untuk KPU ketahui bahwa praktik korupsi politik kian masif dan gencar terjadi belakangan waktu terakhir," jelas ICW.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), satu per tiga dari total 1.519 tersangka, yakni 521 orang di antaranya berasal dari klaster politik.
"Maka dari itu, bagi pelaku yang berasal dari klaster politik penting untuk memformulasikan pemberian efek jera, di antaranya dengan mewajibkan melewati masa jeda waktu lima tahun sebelum mereka dapat diberikan hak politik kembali," ujarnya. [eta]