WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap perilaku menyimpang di kalangan pelajar, wacana pembinaan berbasis disiplin militer kembali mencuat ke permukaan. Langkah ini dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengarahkan ulang karakter siswa yang bermasalah, dengan pendekatan yang tegas namun terukur.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI bersikap terbuka terhadap rencana kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal pembinaan terhadap siswa yang memiliki masalah perilaku.
Baca Juga:
Siaga Merah di Kualanamu: Ancaman Bom Guncang Bandara, Jemaah Haji Dievakuasi
Ia menilai pendekatan semacam ini sudah sering dilakukan, bahkan di sektor lain di luar pendidikan.
Agus mengungkapkan bahwa berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan swasta telah lama menjalin kemitraan dengan TNI dalam penyelenggaraan pelatihan dan pembinaan, terutama dalam hal peningkatan kedisiplinan dan etos kerja.
Menanggapi rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin mengirim para siswa bermasalah ke barak militer sebagai bagian dari program pembinaan, Agus menyatakan dukungannya.
Baca Juga:
Papua Memanas: TNI Dituduh Siksa Warga Sipil, Koalisi HAM Ungkap Fakta Mengejutkan
Ia menegaskan bahwa TNI siap membantu dan sudah memiliki pengalaman serta kurikulum yang matang dalam menjalankan pelatihan semacam itu.
“Dulu, saat saya menjabat sebagai Komandan Rindam II/Siliwangi, perusahaan PT Bukit Asam (PT BA) pernah memiliki MoU dengan kami. Setiap karyawan baru PT BA dikirim ke Rindam untuk mendapatkan pelatihan. Kami sudah memiliki kurikulum yang lengkap, misalnya untuk pelatihan 10 hari, sudah jelas materi dan metodenya,” tutur Agus dalam pernyataannya pada Rabu (30/4/2025).
Menurutnya, langkah Pemprov Jabar ini merupakan kebijakan yang patut diapresiasi.
Ia mencontohkan bahwa di banyak negara maju, seluruh warga negara diwajibkan mengikuti pelatihan militer sebagai bentuk tanggung jawab sipil.
Dengan demikian, pembinaan di barak tidak seharusnya dianggap sebagai bentuk hukuman, melainkan sebagai proses pendisiplinan yang konstruktif.
Agus menjelaskan bahwa meskipun pelatihan yang diberikan berada di lingkungan militer, pendekatan terhadap peserta sipil tetap disesuaikan.
Fokus utamanya bukan pada aspek militeristik semata, tetapi lebih pada pembentukan karakter, terutama soal kedisiplinan, efisiensi, ketegasan, dan kemampuan mengambil keputusan dengan cepat.
Ia memaparkan bahwa struktur kurikulum disusun melalui rapat-rapat internal. Contohnya, dalam pelatihan 10 hari, para peserta akan mengikuti agenda yang padat namun terstruktur, dimulai dengan ibadah pagi, apel, hingga pemeriksaan kerapihan.
“Tidak perlu membayangkan yang macam-macam. Di negara maju, semua warga negaranya mengikuti wajib militer. Kita pun sebaiknya memandang program seperti ini sebagai upaya positif untuk membentuk generasi yang lebih tangguh,” ujar Agus.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]