WahanaNews.co, Jakarta - Kasus dugaan suap pengurusan perkara yang menyeret mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dinilai bisa menjadi pintu masuk penegak hukum untuk mengusut mafia peradilan.
Apalagi, menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Kurnia Ramadhana terdapat petunjuk yang terang perihal penemuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di rumah kediaman Zarof.
Baca Juga:
Ipda Rudy Soik Dipecat Usai Bongkar Mafia BBM di NTT, Tempuh Banding
"Penangkapan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, oleh Kejaksaan Agung harusnya menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar kotak pandora mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman," ujar Kurnia melalui keterangan tertulis, Senin (28/10).
"Logika sederhana saja, dibandingkan dengan harta kekayaannya pada Maret tahun 2022 yang hanya berjumlah Rp51,4 miliar, tentu uang ratusan miliar tersebut terbilang janggal dan patut ditelusuri lebih lanjut," imbuhnya.
Kurnia menuturkan setidaknya terdapat tiga potensi kejahatan Zarof lainnya yang harus didalami oleh tim penyidik Kejaksaan Agung. Pertama, suap-menyuap. Suap dimaksud terjadi apabila uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof adalah hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya.
Baca Juga:
Demonstrasi ke AIA; Admedika Telkom; OJK: Waktu Indonesia Bergerak Klaim Ada Mafia Asuransi Kesehatan
Sekalipun Zarof bukan hakim, kata Kurnia, tetap ada kemungkinan yang bersangkutan merupakan broker atau perantara suap kepada oknum internal MA.
"Praktik dengan modus memperdagangkan pengaruh yang serupa dengan kasus tersebut pernah terjadi yakni saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kejahatan mantan Sekretaris MA Nurhadi," kata Kurnia.
Kedua, gratifikasi. Kurnia menjelaskan praktik lancung ini dikonstruksikan dengan membangun asumsi temuan uang dan bongkahan emas didapatkan Zarof dari sejumlah pihak yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya atau tergolong sulit menelusuri pemberinya.
Jika menggunakan delik gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor), maka beban pembuktian akan berpindah dari penuntut umum ke Zarof.
Pembuktian terbalik tersebut akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya.
Ketiga, pencucian uang. Menurut Kurnia, delik ini mungkin diterapkan tim penyidik apabila ditemukan bukti perolehan harta hasil kejahatan disembunyikan oleh Zarof.
"Lebih jauh lagi, pelaku dalam konteks pencucian uang tidak hanya dapat menjerat Zarof, melainkan juga pihak lain yang turut menerima dana hasil kejahatan," ungkap Kurnia.
26 hakim tersandung korupsi
Kurnia menambahkan kasus Zarof menambah daftar panjang insan peradilan tersandung kasus korupsi.
Berdasarkan catatan ICW, sudah ada 26 hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sepanjang 2011-2023.
Ia pun menuntut tiga rekomendasi untuk memperbaiki kondisi yang sudah semakin mengkhawatirkan tersebut.
Yakni meminta Ketua MA Sunarto untuk menjamin proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak akan diintervensi oleh pihak manapun.
Dalam rangka preventif ke depan, ICW meminta MA berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain seperti Komisi Yudisial (KY), Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk menyusun pemetaan terhadap korupsi di sektor peradilan.
Terakhir, kewenangan KY sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman harus diperkuat.
"Berkaca pada pedoman perilaku hakim, kewenangan Komisi Yudisial masih terbatas pada pemberian rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung. Tentu kondisi tersebut membuka potensi terjadinya konflik kepentingan," ucap Kurnia.
Terpisah, Juru Bicara MA Yanto mengatakan pihaknya telah membentuk tim pemeriksa untuk mengklarifikasi majelis hakim kasasi yang memeriksa dan mengadili kasus pembunuhan dengan terdakwa Ronald Tannur.
Keputusan itu diambil setelah Zarof ditangkap Kejaksaan Agung. Diduga ada uang sekitar Rp5 miliar yang disebut untuk mengurus kasasi Ronald Tannur.
"Berdasarkan Rapat Pimpinan Mahkamah Agung pada hari ini, Senin tanggal 28 Oktober 2024, pimpinan MA secara kolektif kolegial telah memutuskan membentuk tim pemeriksa yang bertugas untuk melakukan klarifikasi kepada majelis hakim kasasi perkara Ronald Tannur," ucap Yanto dalam jumpa pers di Kantornya, Senin.
Tim pemeriksa tersebut diketuai oleh hakim agung Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Jupriyadi dan Nor Ediyono yang merupakan Sekretaris Kepala Badan Pengawasan MA.
Lebih lanjut, ia mengatakan Ketua MA Sunarto akan memberi arahan secara langsung kepada Ketua Pengadilan tingkat banding pada empat lingkungan peradilan.
Sunarto dalam waktu dekat juga akan melaksanakan konsolidasi internal dengan para hakim agung.
Hal itu akan dimulai pada Selasa (29/10) pukul 11.00 WIB bersamaan dengan rapat rutin yang senantiasa dilakukan. Kata Yanto, hal itu bertujuan agar Ketua MA mendapat informasi terkini mengenai dunia peradilan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]