WahanaNews.co, Jakarta - Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau), Marsekal Pertama R Agung Sasongkojati, mengungkapkan, kecelakaan pesawat Super Tucano di Pasuruan, Jawa Timur, kemungkinan besar bukan disebabkan oleh tabrakan.
Menurut Kadispenau, Emergency Locator Transmitter (ELT) atau perangkat pemancar sinyal darurat dari kedua pesawat tersebut menyala pada waktu yang berbeda, tidak secara bersamaan.
Baca Juga:
DLH Pasuruan Gelar Simulasi Kedaruratan B3 untuk Antisipasi Pencemaran dan Bencana
"Jika kedua ELT ini menyala pada waktu yang berbeda, ini kemungkinan besar bukan karena tabrakan," ucapnya dalam konferensi pers di Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Jumat (17/11/2023).
Ia menjelaskan bahwa jika terjadi tabrakan, pasti akan ada kekacauan di udara, karena masih ada waktu untuk mencapai titik tabrakan di permukaan.
"Kalau tabrakan pasti ada ribut di udara kan? Karena masih ada waktu untuk sampai menghantam bawah," ucap dia, melalui tayangan program Breaking News Kompas TV.
Baca Juga:
Kisah Haru Buruh Cangkul Asal Pasuruan Wujudkan Impian Berangkat Haji
Agung mengakui bahwa meskipun demikian, kesimpulan yang pasti tidak dapat diambil karena pihaknya masih akan memeriksa data dari Flight Data Recorder (FDR) dari kedua pesawat yang jatuh di lereng Gunung Bromo tersebut.
Agung menjelaskan bahwa ELT pada kedua pesawat tersebut menyala setelah empat pesawat melakukan manuver untuk menjauh satu sama lain karena pandangan para penerbang terhalang oleh awan tebal.
Dia menjelaskan bahwa ketika satu per satu pesawat naik ke angkasa, awan-awan di sekitarnya relatif tipis. Namun, tiba-tiba awan tersebut menjadi lebih tebal, mengakibatkan gangguan jarak pandang bagi para penerbang, bahkan menciptakan kondisi "blind" di mana mereka tidak dapat melihat apa pun.
"Mereka terbang formasi, take off satu per satu, setelah naik ke atas mereka bergabung menjadi satu kesatuan pesawat yang formasi, formasi itu dekat sekali," kata Kadispenau Agung Sasongkojati.
"Pada saat mereka climbing, mereka masuk ke awan, in-out-in-out, artinya awannya itu tipis-tipis saja, namun awan itu tiba-tiba menebal dengan pekat, sehingga pesawat yang dekat saja, mungkin jaraknya 30 meter itu tidak kelihatan," ujarnya.
Sesuai prosedur, jelas Kadispenau, saat awan sangat tebal hingga mengganggu pandangan, para penerbang mengatakan "blind" atau dalam Bahasa Indonesia berarti "buta".
"Pada saat dikatakan blind, maka sesuai prosedur, pesawat-pesawat saling menjauhkan diri," ucapnya.
Ketika empat pesawat saling menjauhkan diri, ia mengatakan, terdengar suara ELT dari satu pesawat.
"Berarti ada sesuatu yang terjadi pada satu pesawat. Sejurus kemudian, saya tidak tahu berapa lama, baru terdengar lagi suara ELT yang kedua," tuturnya.
Sementara itu, FDR dari dua pesawat yang mengalami kecelakaan di lereng Gunung Bromo pada Kamis (16/11/2023) siang itu sudah berada di Lanud Abdulrachman Saleh, Malang pada Jumat (17/11/2023) siang.
"Perlu kami sampaikan bahwa data dari FDR, saat ini FDR sudah ada di Lanud Abdulrachman Saleh, mudah-mudahan bisa kita baca untuk bisa memberi penjelasan lebih lanjut apa yang terjadi pada penerbangan ini," ucapnya.
FDR tersebut diamankan oleh tim gabungan dari Pusat Kelaikan Keselamatan Terbang dan Kerja TNI Angkatan Udara (Puslaiklambangjaau) bersama Skadron Teknik 022 Abdulrachman Saleh Malang pada Jumat (17/11/2023) pagi.
"Tadi pagi tim dari Puslaiklambangjaau bersama dengan tim dari Skadron Teknik di Lanud Abdulrachman Saleh telah berhasil mencapai kedua pesawat yang mengalami kecelakaan," ungkapnya.
Tim gabungan itu, kata dia, telah mendapatkan beberapa data serta berhasil merekam informasi dan mencatat segala hal yang terjadi di sana.
Kadispenau Agung Sasongkojati juga menjelaskan bahwa empat jenazah TNI AU penerbang pesawat Super Taco telah dimakamkan pada Jumat (17/11/2023).
Tiga jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Untung Suropati Malang, sedangkan satu jenazah dimakamkan di TMP Madiun sesuai permintaan keluarga.
Ketiga jenazah yang dimakamkan di TMP Untung Suropati Malang adalah Marsekal Pertama TNI Anumerta Subhan, Marsekal Pertama TNI Anumerta Widiono, dan Kolonel Penerbang Anumerta Sandra Gunawan.
Satu jenazah yang dimakamkan di TMP Madiun ialah Letnan Kolonel Penerbang Anumerta Yudha Septa.
"Semua mendapat kenaikan pangkat luar biasa dari pemerintah atas jasa-jasa yang melebihi tuntutan tugas," kata Agung.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]