WahanaNews.co, Jakarta - Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menyindir adanya kekhawatiran di kalangan tertentu terkait kemungkinan Pilpres 2024 tidak berjalan dalam satu putaran. Meskipun demikian, ia tidak secara eksplisit menyebut pihak yang dimaksud.
Di sisi lain, pernyataan itu disampaikan merespons Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan menegaskan seorang presiden boleh berkampanye dan memihak salah satu paslon di Pilpres 2024.
Baca Juga:
20 Oktober 2024: Melihat Nasib Konsumen Pasca Pemerintahan 'Man Of Contradictions'
"Ada yang panik mau satu putaran, sehingga ada yang mau turun kampanye, bahkan berkoar-koar," kata Mardani dikutip CNNIndonesia, Rabu (24/01/24).
Mardani tak menampik apabila aturan juga menyebutkan demikian. Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, baik capres dan cawapres memang tak dilarang berkampanye.
Namun, Mardani mengingatkan bahwa presiden dan wapres yang masih menjabat harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya harus cuti di luar tanggungan negara serta tak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.
Baca Juga:
HUT ke-79 TNI, Ini Pesan Presiden Jokowi ke Prajurit Indonesia
"Presiden memang boleh kampanye, menteri juga boleh, tapi harus cuti dan transparan. Tapi kayaknya memang ada yang ngebet satu putaran," kata dia.
Mardani lantas meminta agar Bawaslu dan juga seluruh masyarakat mengawasi jalannya Pemilu 2024 di Indonesia, agar berjalan sesuai asas luber jurdil.
"Kita awasi bersama ya," imbuh Mardani.
Senada, Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid juga menilai pernyataan yang disampaikan Jokowi itu menunjukkan ada sejumlah pihak yang panik apabila Pilpres 2024 tidak berjalan sesuai hasrat sekelompok orang.
"Secara normatif semua sudah tahu aturan itu, tapi pernyataan itu menunjukkan tanda kepanikan," kata Jazilul.
Jazilul pun menyerahkan pilihan dan penilaian sepenuhnya kepada masyarakat. Namun, ia mewanti-wanti warga agar tetap berpegang pada semangat reformasi. Jazilul pun menyinggung Indonesia jangan sampai kembali pada era di mana praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) berkembang pesat.
Ia pun menilai presiden merupakan jabatan yang melekat pada diri seseorang. Sehingga menurutnya rakyat akan tetap jelas memandang kemana keberpihakan seorang presiden, meskipun misalnya 'turun gunung' itu dilakukan pada masa cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara sekalipun.
"Oleh karena itu, kami minta semuanya untuk pukul kentongan, untuk membangunkan kesadaran. Menyelamatkan demokrasi dan menyelamatkan pemilu dari kecurangan," ujarnya.
Jokowi sebelumnya menyatakan seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan presiden asalkan mengikuti aturan waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara.
"Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tetapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).
Jokowi mengatakan presiden tak hanya berstatus sebagai pejabat publik, namun juga berstatus pejabat politik.
[Redaktur: Sandy]