Bakhrul mengingatkan agar kasus ini jangan dijadikan bahan oleh oknum tertentu untuk memicu kegaduhan politik di Sumut, khususnya sesama anggota dewan.
“Bahasa yang dipakai itu umum dan sering terdengar. Tidak ada tendensi, tapi tetap perlu dicek ahli bahasa. Kan bisa diselesaikan internal, kenapa harus sampai ke hukum. Takutnya malah dimanfaatkan kelompok tertentu,” ucapnya.
Baca Juga:
Kemkomdigi Gandeng Apjatel dan Pemda, Program Kampung Internet Siap Hadir di Lima Provinsi
Ia menilai, laporan ke polisi justru membuat Erni terlihat tidak mampu mengendalikan masalah pribadi, apalagi persoalan yang lebih besar di Sumatera Utara.
“Jangan terus dibawa ke ranah hukum. Perbedaan pendapat itu biasa. Bhineka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Demokrasi gagal kalau perbedaan pendapat tidak bisa diterima,” katanya.
Bakhrul juga menuturkan bahwa komentar di media sosial bersifat multitafsir dan sebaiknya ditanyakan langsung kepada penulisnya.
Baca Juga:
Di duga Anggaran Dana Desa di Kecamatan Bandar Tidak Transparan
“Harusnya ditanya maksudnya apa, biar tidak terjadi salah tafsir. Itu lebih bijak ketimbang buru-buru lapor polisi,” katanya.
Ia mengingatkan, Erni sebagai Ketua DPRD Sumut harus mampu menjaga keutuhan lembaga dan tidak menciptakan kegaduhan yang memperburuk citra di mata masyarakat.
“Lebih baiknya ini dibicarakan secara internal dulu, karena satu rumah tangga. Mereka bertemu dan berdialog apa yang terjadi, sehingga tidak menciptakan pandangan lain. Ketua DPRD Sumut harus bisa menjalankan perannya tanpa gaduh,” katanya.