WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ustaz Khalid Zeed Abdullah Basalamah akhirnya menyerahkan kembali sejumlah dana ke negara melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024, langkah yang langsung dijadikan barang bukti oleh penyidik dan menambah panasnya sorotan publik.
Ketua KPK Setyo Budiyanto pada Senin (15/9/2025) mengonfirmasi pengembalian uang itu meski belum bisa merinci jumlah pastinya.
Baca Juga:
Follow the Money, KPK Lacak Uang Haram Korupsi Haji dengan PPATK
“Benar (ada pengembalian uang),” kata Setyo kepada wartawan, seraya menambahkan, “Untuk jumlahnya belum terverifikasi.”
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa uang tersebut terkait dengan praktik penjualan kuota haji yang dilakukan Khalid melalui biro perjalanannya.
“Tentunya ini terkait dengan penjualan kuota ibadah haji yang dilakukan oleh Saudara Ustadz KB melalui Biro perjalanannya,” ucap Budi di Gedung Merah Putih KPK, Senin (15/9/2025).
Baca Juga:
KPK Ungkap Modus Pelunasan Haji Khusus Hanya 5 Hari, Kuota Diduga Dijual ke PIHK
Pengakuan KPK ini sejalan dengan pernyataan Khalid Basalamah dalam sebuah podcast di kanal YouTube Kasisolusi.
“Nah makanya teman-teman KPK saya sampaikan semua ini, mereka (KPK) bilang, ‘Ustaz, yang ini, yang 4.500 (USD) kali sekian jemaah (118 jemaah), kembalikan ke negara, Ustaz’. Oke, yang 37.000 (USD) juga dikembalikan ke negara,” ujar Khalid.
Sebelumnya pada Selasa (9/9/2025), Khalid diperiksa sebagai saksi fakta dalam kapasitasnya sebagai Direktur sekaligus pemilik PT Zahra Oto Mandiri (Uhud Tour).
Ia menuturkan awalnya hendak berangkat haji furoda bersama jamaahnya, tetapi kemudian ditawari oleh Ibnu Mas’ud, pemilik PT Muhibbah Mulia Wisata, untuk beralih ke haji khusus.
“Saya posisinya tadinya sama jemaah furoda, terus kemudian kami sudah bayar furoda sudah siap berangkat furoda, tapi ada seseorang bernama Ibnu Masud yang pemilik PT Muhibah dari Pekanbaru, menawarkan kami visa ini (haji khusus),” kata Khalid di Gedung Merah Putih KPK, Selasa malam.
Ia menyebut alasan menerima tawaran itu karena Ibnu Mas’ud mengklaim visa yang diberikan merupakan bagian dari kuota tambahan resmi 20.000 dari Kementerian Agama.
“Bahasanya Ibnu Mas’ud kepada kami PT Muhibah kalau ini adalah kuota tambahan resmi 20.000 dari Kemenag. Karena dibahasakan resmi dari pihak Kemenag, ya kami terima,” ujarnya.
Menurut Khalid, sekitar 122 jemaah akhirnya ikut dalam keberangkatan haji khusus lewat Travel Muhibbah dan ia mengaku merasa tertipu.
“Jadi posisi kami ini korban dari PT Muhibbah, yang dimiliki oleh Ibnu Mas’ud. Kami tadinya semua furoda. Ditawarkanlah untuk pindah menggunakan visa ini (haji khusus),” ucapnya.
Khalid juga menambahkan bahwa fasilitas yang mereka dapatkan serupa dengan layanan haji furoda, bukan haji reguler.
“Fasilitas ya seperti furoda, bukan (seperti haji reguler), langsung ke VIP karena pakai (haji) khusus tadi,” ungkapnya.
Kasus kuota haji ini sendiri bermula dari dugaan penyimpangan pembagian 20.000 kuota tambahan untuk tahun 2023–2024 yang diduga dilakukan di masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada Rabu (6/8/2025) menerangkan, sesuai Pasal 64 Ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2019, semestinya pembagian kuota 20.000 jamaah tambahan itu mengikuti proporsi 92 persen reguler (18.400) dan 8 persen khusus (1.600).
“Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama,” kata Asep.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” lanjutnya.
Asep menegaskan pembagian setengah-setengah itu jelas menyalahi aturan.
“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” tandasnya.
Untuk mempercepat penyidikan, KPK mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, yakni mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, eks staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah Fuad Hasan Masyhur.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]