WAHANANEWS.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima ratusan laporan dari masyarakat yang mengaku menjadi korban dugaan oplosan bahan bakar minyak (BBM) Pertamax oleh Pertamina.
Dugaan ini semakin kuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah pejabat tinggi Pertamina sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan BBM.
Baca Juga:
LBH Jakarta Tawarkan Diri Jadi Amicus Curiae Kasus Roy Suryo, Ini Alasannya!
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengungkapkan bahwa sejak posko pengaduan daring dibuka selama dua hari, mereka telah menerima 426 laporan.
"Sebanyak 426 pengaduan daring telah masuk," kata Fadhil dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (28/2/2025).
Untuk mengakomodasi lebih banyak pelapor, LBH Jakarta juga membuka posko pengaduan luring di kantornya.
Baca Juga:
Kasus Brotoseno, LBH Jakarta Sebut Sidang Etik Jadi Sarana Impunitas
Langkah ini diambil untuk memberikan akses bagi masyarakat yang kesulitan melaporkan secara daring atau ingin menyampaikan aduan secara langsung.
Fadhil menegaskan bahwa posko ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dugaan korupsi BBM terhadap masyarakat.
"Kami melihat keresahan dan kemarahan masyarakat yang begitu meluas, sehingga posko ini kami buka untuk memfasilitasi mereka yang ingin mengajukan klaim kerugian," ujarnya.
Lebih lanjut, LBH Jakarta menawarkan berbagai mekanisme hukum yang bisa ditempuh masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban pihak terkait.
Opsi yang tersedia antara lain gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan gugatan perwakilan kelompok (class action) di pengadilan negeri.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus impor minyak. Selain tiga Direktur Utama Subholding PT Pertamina dan empat pejabat lainnya, Kejagung juga menetapkan dua petinggi PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka tambahan.
Mereka adalah Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga) serta Edward Corne (VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga).
Sementara itu, tersangka dari subholding PT Pertamina mencakup Direktur Utama Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Sani Dinar Saifuddin; serta Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi.
Para tersangka diduga melakukan praktik blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite.
Riva Siahaan, salah satu tersangka utama, dituduh membeli BBM dengan kadar oktan (RON) 90 atau lebih rendah, tetapi mengklaim membeli RON 92.
BBM tersebut kemudian dicampur di storage atau depo agar tampak seperti RON 92 sebelum dipasarkan.
Menanggapi tuduhan ini, Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah adanya praktik oplosan Pertamax seperti yang disampaikan Kejaksaan Agung.
Ia menjelaskan bahwa BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri, dengan spesifikasi yang telah sesuai sebelum didistribusikan.
"Baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, BBM tersebut sudah berbentuk RON 92 ketika kami terima. Perbedaannya, meskipun sudah dalam bentuk RON 90 atau RON 92, bahan bakar ini masih bersifat base fuel, artinya belum mengandung aditif. Pertamina Patra Niaga hanya mengelola dari terminal hingga ke SPBU," jelas Mars Ega dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (26/2/2025).
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]