WahanaNews.co | UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, UU PPP digugat oleh Partai Buruh, kini digugat YLBHI dkk.
Baca Juga:
Menjelajahi Omnibus Law: Efektivitas, Konfigurasi, Urgensi, dan Implementasinya dalam Konteks Manajemen SDM
Sejumlah alasan diajukan, salah satunya UU PPP melegalkan omnibus law.
Gugatan kali ini selain diajukan YLBHI juga diajukan oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dosen UIN Jakarta Ismail Hasani, dosen Universitas Ekasakti Laurensius Arliman dan mahasiswa Bayu Satrio Utomo.
"Kebermanfaatan metode omnibus dalam UU Cipta Kerja mash perlu dipertanyakan lebih lanjut," demikian bunyi permohonan pemohon yang dilansir website MK, Senin (1/8/2022).
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan
Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi basis argumentasi pemohon. Pertama, metode omnibus cenderung pragmatis dan kurang demokratis. Kedua, minimnya akomodir terhadap proses deliberatif.
Ketiga, proses penyusunannya cenderung abai terhadap ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma.
"Ketiga sisi lemah metode omnibus ini setidaknya telah nampak dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja," ungkap pemohon.
Pertama, pragmatis karena hanya menjadi saluran pemenuhan hasrat kepentingan investasi tapa pro demokrasi.
Kedua minim terhadap proses deliberatif karena hanya melibatkan elit penguasa tanpa memberikan ruang partisipasi pada masyarakat yang berkepentingan.
"Dan mengabaikan ketelitian yang terefleksikan pada banyaknya kesalahan penulisan pada UU Cipta Kerja," ujar pemohon.
Selain itu, UU PPP juga membolehkan UU salah ketik.
Menurut pemohon, perbaikan kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden dalam rapat paripurna dan sebelum pengesahan sangat berpotensi pada terjadinya disrupsi legislasi yang semakin mengkhawatirkan.
"Setidaknya, pemerintah bersama DPR telah memperagakan disrupsi legislasi dalam 3 (tiga) tahun terakhir," kata pemohon.
Contohnya revisi UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kedua revisi tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ketiga revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir UU Cipta Kerja.
"Beberapa undang-undang hasil disrupsi legislasi tersebut terutama UU Cipta Kerja telah menjadi bukti bahwa undang-undang hasil proses legislasi yang prematur tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat," ucap pemohon.
Dimuatnya norma yang memberikan kesempatan untuk perbaikan kesalahan teknis, kata pemohon, hanya akan semakin melonggarkan aturan pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Dapat dibayangkan apabila setiap RU yang telah disetujui bersama kemudian diubah dengan dalil kesalahan teknis. Di satu sisi, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan kesalahan teknis seperti apa yang dimaksud. Bukan tidak mungkin perubahan terhadap RU yang telah disetujui bersama tersebut akan berdampak pada perubahan makna dan maksud dari norma RU. Kondisi demikian akan mengarah pada terjadinya kekacauan hukum dan pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan," papar pemohon.
Permohonan ini sudah didaftarkan ke MK dan masih diproses kepaniteraan. [rsy]