WahanaNews.co | Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, mengatakan, upaya kontra-terorisme menggunakan kerangka penegakan hukum oleh
kepolisian sudah berjalan cukup efektif.
TNI hanya dapat membantu jika diperlukan, dan itu pun berdasarkan keputusan politik negara oleh
Presiden dan DPR.
Baca Juga:
Dalam rangka Memeriahkan Hari Bhayangkara ke-79, Polres Subulussalam Laksanakan Olahraga Bersama
"Sehingga, jika terorisme terjadi di dalam
negeri, maka akan menjadi tanggung jawab fungsi penegakan
hukum seperti Polri, dengan perbantuan TNI jika diperlukan berdasarkan
keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat," ungkap
Agus, dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Sabtu (28/11/2020).
Sedangkan,
kata dia, jika terorisme terjadi di luar yurisdiksi sistem hukum nasional, maka itu menjadi tugas dan kewenangan TNI.
Menurut
dia, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelibatan TNI dalam menangani terorisme rawan tumpang
tindih peran dengan berbagai lembaga lain, seperti BNPT, Polri, Densus 88, dan lainnya.
Baca Juga:
Siaga Merah di Kualanamu: Ancaman Bom Guncang Bandara, Jemaah Haji Dievakuasi
Dia
kemudian menyarankan agar rancangan Perpres itu disempurnakan terlebih dahulu.
Menurut
dia, saat ini kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan adalah perlunya diterbitkan UU Perbantuan TNI kepada Otoritas Sipil di Masa Damai, yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada
pemerintah sipil.
Dia juga
menjelaskan, berdasarkan ketentuan konstitusi, pengerahan TNI dalam kontra-terorisme harus berdasarkan perintah Presiden yang sesusai dengan peraturan
perundang-undangan.
TNI
dapat dikerahkan hanya dengan berdasarkan perintah Presiden melalui pernyataan publik yang terbuka untuk
kontrol publik dan DPR dan tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis.
"Panglima
TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan sama sekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang
apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan," jelas dia.
Agus
menuturkan, masih banyak kalangan yang terbelenggu dalam tatanan dwifungsi
ABRI. Banyak juga kalangan yang berharap pelibatan TNI dalam kontra-terorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan
perundangan-undangan. Ditambah lagi dengan masih adanya kalangan TNI yang
menganggap doktrin TNI unik.
"Dengan
perannya sebagai penjaga bangsa sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap
berlaku. Ini disebabkan juga kontrol demokratik dari otoritas sipil yang masih
lemah untuk menegakkan tatanan dari kemampuan berdasarkan kaidah
demokrasi," kata dia.
Semua
itu ia sampaikan saat menjadi pembicara utama dalam webinar Raperpres Pelibatan TNI dalam Kontra-Terorisme yang
digelar oleh UPN Veteran Jawa Timur dengan Marapi Consulting & Advisory.
Pada
saat yang sama, peneliti Hubungan Internasional Centre for Strategic and
International Studies (CSIS),
Fitriani, mengatakan, rancangan Perpres
itu harus ditinjau ulang.
Dia juga
memberikan tiga kritik terhadap rancangan Perpres tersebut.
Pertama,
ruang lingkup dan persyaratan pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus jelas.
Kedua, harus
ada koordinasi operasional dan doktrinal antara TNI dengan unsur
kontraterorisme lain.
Dan, ketiga,
anggaran operasi hanya diperbolehkan dari APBN. [dhn]