Oleh: Iswara N Raditya, Rachma Dania
PARTAI Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah partai
politik yang lahir dari rahim Reformasi 1998. Sehari setelah lengsernya
Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) mendapat berbagai usulan kaum nahdiyin dari berbagai daerah di
Indonesia.
Banyak warga NU yang
menginginkan agar dibentuk parpol yang mewadahi aspirasi kaum nahdiyin dan umat
Islam di Indonesia pada umumnya. Saat itu bahkan tercatat ada 39 bakal nama
parpol yang diusulkan. Belum lagi rancangan lambang, visi dan misi, rumusan
AD/ART, hingga orang-orang yang dinilai layak menjadi pengurus parpol orang NU
nantinya.
Baca Juga:
Panglima TNI Dampingi Wakil Presiden RI Buka Konferensi Besar Fatayat NU 2024
Sejak 1974, ketika fusi
partai ala rezim Orba mulai diberlakukan, aspirasi politik kaum nahdiyin agak
tersumbat karena Partai NU "dipaksa" melebur ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan, sepuluh tahun kemudian pada Muktamar NU
1984 di Situbondo, Gus Dur yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum PBNU
mewacanakan khitah 1926, yaitu agar NU kembali menjadi organisasi
sosial-keagamaan.
Matori Abdul Djalil
dalam biografinya yang ditulis oleh M.F. Nurhuda Yusro dan Mahrus Ali,
Pergulatan Membela yang Benar (2008), menyebutkan bahwa keputusan kembali ke
khitah tidak menghilangkan hak politik warga NU. Bahkan, menurut ketua umum
pertama PKB itu, keputusan tersebut menjadikan warga NU bebas memilih partai.
PPP bukan lagi menjadi
satu-satunya kanal politik warga NU. Sejumlah tokoh NU lainnya ada juga yang
bergabung dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Baca Juga:
Mendikdasmen Umumkan Mulai 2025 Guru PPPK Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Perbedaan pilihan
partai politik itu disebut Matori sebagai "cara mengentalkan naluri
politik warga NU di semua lini". Namun, di sisi lain, hal itu juga membuat
persinggungan antara warga NU semakin kentara.
"Setelah NU keluar dari PPP, persaingan baru
muncul karena loyalitas para pemimpin NU, serta pengikut mereka, semakin
terpisahkan oleh garis partai (Golkar, PPP, dan PDI)," sebut Donald J. Porter
dalam Managing Politics and Islam in Indonesia (2004).
Karena itulah, setelah
Soeharto lengser dan kebijakan penyederhanaan partai-partai tidak berlaku,
naluri politik warga NU membuncah kembali dan muncullah usulan pembentukan
partai sendiri.
PBNU dan
Kelahiran PKB
PBNU menampung berbagai
usulan tersebut. Namun, seperti yang tertulis dalam website resmi PKB, PBNU
harus sangat berhati-hati karena secara organisatoris NU tidak terkait dengan
partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis, sesuai
keputusan Muktamar 1984.
Sikap PBNU membuat
warga nahdiyin kurang puas. Usulan agar segera dibentuk partai politik untuk
umat NU justru semakin kencang. Bahkan, sejumlah partai politik berbasis massa
NU sudah dideklarasikan, seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan
Partai Kebangkitan Umat di Cirebon.
Dikutip dari Relasi
Islam, Politik dan Kekuasaan (2013) karya Abdul Halim, PBNU akhirnya
mengadakan rapat pada 3 Juni 1998 untuk memenuhi aspirasi nahdiyin. Hasilnya,
terbentuklah Tim Lima yang terdiri dari K.H. Ma"ruf Amin sebagai ketua, dengan
anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, H.M. Rozy Munir, dan Ahmad
Bagdja.
Dalam rapat
selanjutnya, dibentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima dalam
menginventarisasi dan merangkum usulan pembentukan partai politik baru, sesuai
aspirasi nahdiyin, yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Muhaimin
Iskandar alias Cak Imin menjadi salah satu anggota Tim Asistensi ini.
Akhirnya, pada 23 Juni
1998, terbentuklah partai politik yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa
untuk menampung aspirasi warga NU pada khususnya, dan umat Islam serta rakyat
Indonesia pada umumnya. Deklarasi dilakukan di kediaman Ketua Umum PBNU, Gus
Dur.
Selain Gus Dur,
beberapa tokoh NU yang turut mendeklarasikan berdirinya PKB di antaranya K.H.
Ilyas Ruhiat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, serta K.H. Muchith Muzadi.
Matori Abdul Djalil terpilih sebagai Ketua Umum PKB pertama.
Ketika terpilih sebagai
ketua umum, Matori adalah politikus kawakan NU. Orang Salatiga kelahiran 11
Juli 1942 itu sudah malang melintang sejak muda dalam panggung politik. Sebagai
pelajar dan mahasiswa, ia aktif di badan-badan otonom NU seperti Ansor, IPNU,
dan PMII. Di akhir 1960-an ketika NU masih berbentuk partai, Matori, yang baru
saja lulus dari kuliah, sudah tergabung sebagai pengurus di kota kelahirannya.
Karier politiknya
kemudian makin menanjak. Kala Partai NU dilebur ke dalam PPP, Matori turut bergabung
dalam partai baru tersebut. Ia merangkak dari bawah sebagai anggota DPRD
kabupaten, DPRD provinsi, hingga DPR. Pada 1989, Matori akhirnya terpilih
sebagai Wakil Ketua Umum PPP mendampingi Ismail Hassan Metareum.
Matori Abdul Djalil,
yang meninggal pada 12 Mei 2007, tepat hari ini 14 tahun lalu, adalah contoh
paling representasional dari politikus klasik NU yang tumbuh di era Orde Baru.
Ia tidak punya trah darah biru sebagai, misalnya, anak seorang kiai besar.
Karier politiknya dimulai sejak belia sebagai aktivis di Jawa Tengah dan
kemudian menjadi politikus tingkat nasional.
Rekan segenerasinya
yang memiliki jalan karier hampir mirip adalah Hasyim Muzadi, yang malang
melintang sejak muda di Jawa Timur. Bedanya, di puncak karier mereka, Hasyim
menduduki jabatan "non-politis" sebagai Ketua Umum PBNU; sementara
Matori konsisten di jalur partai.
Di PKB, Matori tak
luput dari, dan terlibat dalam, konflik-konflik internal yang menjadi
pemandangan umum di partai-partai baru pada awal era Reformasi. Konflik
terbesarnya tentu saja dengan sang patriark partai, Abdurrahman Wahid.
Matori vs
Gus Dur
PKB langsung ambil
bagian di Pemilu 1999 yang diikuti 49 peserta dan memperoleh jumlah suara yang
mengejutkan sebagai partai pendatang baru. PKB menempati posisi ke-3 dengan
13.336.982 suara, hanya kalah dari dua partai politik lama yakni sang pemenang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar.
PKB bahkan lebih unggul
dari partai Islam yang jauh lebih tua, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
di peringkat ke-4. Berkat perolehan suara di Pemilu 1999 itu, sebut Mahrus Ali
dan M.F. Nurhuda dalam Pergulatan Membela yang Benar, PKB mendapatkan 51 kursi
di DPR.
Selain restu dari PBNU
serta peran santri dan para kiai, juga tentunya warga nahdiyin, keberhasilan
PKB dalam debutnya di Pemilu 1999 tidak terlepas dari sosok Gus Dur yang sangat
dihormati dan berpengaruh, serta merupakan salah satu tokoh Reformasi 1998. Gus
Dur kemudian menempati posisi orang nomor satu di negeri ini sebagai Presiden
Republik Indonesia ke-4, menggantikan B.J. Habibie.
Gus Dur menjadi
Presiden RI sejak 20 Oktober 1999 hingga dilengserkan pada 23 Juli 2001.
PKB dipimpin Alwi
Shihab sejak 15 Agustus 2001. Namun, perpecahan terjadi di internal partai ini
antara kubu Matori dengan pihak Alwi yang didukung Gus Dur.
Dikutip dari Hukum
Online, perpecahan di PKB berawal dari pemecatan sepihak tehadap Matori
oleh Dewan Syura PKB dari posisinya selaku Ketua Tandfidz Dewan Pengurus PKB.
Pemecatan Matori
tersebut dilatarbelakangi kehadirannya saat Sidang Istimewa MPR 2001 yang
digawangi oleh Amien Rais untuk menjungkalkan Gus Dur dari kursi kepresidenan,
yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kendati diterpa badai
perpecahan yang cukup berlarut-larut, PKB masih mampu berbicara banyak di
Pemilu 2004 dengan mempertahankan posisi ke-3 dan memperoleh 52 kursi di DPR.
Matori vs Muhaimin
Muhaimin Iskandar
dituding sebagai salah satu orang di balik dipecatnya Matori Abdul Djalil dari
PKB pada 2001. Sebelum resmi didepak, Matori melawan dengan menggelar
konferensi pers di Gedung MPR/DPR tanggal 30 Juli 2001. Dalam konferensi pers
itu, Matori menegaskan bahwa ia masih Ketua Umum PKB yang sah.
Bahkan, Matori mendesak
kepada 5 fungsionaris partai agar keluar dari PKB karena telah mendorong Gus
Dur bertindak konfrontatif terhadap lembaga legislatif dan mendukung
dikeluarkannya Dekrit Pembekuan MPR/DPR.
Kelima orang petinggi
PKB yang disebut Matori, seperti diwartakan Liputan6 edisi 31 Juli 2001, adalah
Alwi Shihab, Effendi Choirie, Chotibul Umam Wiranu, Arifin Junaidi, dan
Muhaimin Iskandar.
Gertakan Matori tak
mempan. Tanggal 4 Agustus 2001, Gus Dur menggelar rapat internal dan memutuskan
bahwa Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) dan Abdul Khaliq Ahmad (Sekretaris
Fraksi PKB di DPR) dipecat dari keanggotaan partai.
Rapat ini dipimpin
langsung oleh Gus Dur dan dihadiri oleh seluruh fungsionaris DPP PKB, termasuk
anggota fraksi PKB di DPR/MPR. Kendati begitu, kubu Matori tetap melawan dan
membawa dualisme PKB ke ranah hukum yang bergulir cukup lama.
PKB yang didukung Gus
Dur jalan terus. Alwi Shihab ditunjuk memimpin PKB untuk sementara. Posisi Alwi
sebagai Ketua Umum PKB dikukuhkan dalam Muktamar Luar Biasa (MLB) pada 17
Januari 2002. MLB juga menetapkan Muhaimin Iskandar tetap menjabat sebagai
Sekjen PKB hingga 2005. (WN)
Sumber: Tirto